Rame ing Pilkada, Sepi ing Program

Posting Komentar
Rais Aam PBNU KH Ma’ruf Amin dalam amanatnya menjelang pilkada 2017 yang diselenggarakan pada Februari ini menyampaikan agar para pengurus NU dan kiai NU tidak terjebak dalam dukung-mendukung kandidat yang berpotensi menimbulkan kekurangkompakan antarsesama kiai NU. Sikap yang baik adalah sedang-sedang saja, wajar-wajar saja, dan jangan sampai terprovokasi yang akhirnya melakukan langkah-langkah yang tidak terpuji dan tindakan yang tidak santun dalam membela salah satu calon. Sebaiknya pimpinan NU memposisikan sikap netral walaupun harus memilih.

Dalam kesempatan berbeda Ketua PBNU H Imam Aziz saat pelantikan dan peningkatan kapasitas Pengurus Ranting NU se-MWCNU Cipayung, Jakarta Timur di gedung PBNU baru-baru ini menyampaikan keprihatinannya bahwa program-program NU DKI Jakarta belum dikerjakan dengan baik, tetapi pengurus NU selalu ramai dalam mensikapi politik praktis. Berbagai persoalan sosial-keagamaan, masalah ekonomi, dan berbagai isu kesenjangan yang terkait dengan warga NU belum dikerjakan secara maksimal. NU DKI belum memiliki sekolah yang bagus, layanan kesehatan yang baik, atau badan usaha yang bisa diandalkan.

Rame ing Pilkada, Sepi ing Program (Sumber Gambar : Nu Online)
Rame ing Pilkada, Sepi ing Program (Sumber Gambar : Nu Online)

Rame ing Pilkada, Sepi ing Program

Apa yang terjadi di Jakarta tersebut sebenarnya cerminan dari kondisi yang terjadi di sejumlah kepengurusan NU di berbagai tingkatan di berbagai daerah. Sekalipun posisinya sebagai organisasi sosial keagamaan, tetapi karena jumlah massanya yang besar, maka pengaruh politik NU sangat besar. Inilah yang menyebabkan beberapa pengurus NU lebih tertarik mengaitkan NU dengan momen-momen politik dibandingkan dengan mengurusi umat. Orang-orang yang memiliki ambisi politik berusaha menjadi ketua NU, lalu menjelang pilkada, sang ketua sibuk ke sana-ke mari untuk bisa menjadi calon bupati, walikota atau gubernur. Minimal wakilnya. Posisinya sebagai ketua NU membuatnya memiliki nilai tawar yang tinggi di mana NU memiliki basis yang kuat, meskipun ia tidak berasal dari partai politik.

Persoalan muncul ketika yang ingin maju atau yang didukung dalam gelanggang pilkada dari lingkungan NU tidak hanya satu orang. Tak jarang rais syuriyah mendukung calon A sementara ketua tanfidziyah mendukung calon B. Akhirnya kepengurusan tidak kompak dan warga NU sendiri kebingungan melihat para panutannya berjalan sendiri-sendiri.

At Tijani Indonesia

Karena para pengurus NU biasanya juga tokoh masyarakat atau memegang posisi penting di masyarakat, maka seringkali mereka tidak mengatasnamakan NU dalam dukungan-dukungan politik tersebut. Sekalipun tidak secara formal mengatasnamakan NU, tetapi susah untuk memisah-misahkan antara sikap yang disampaikan. Mereka bermain di ranah abu-abu untuk sesuatu yang sebenarnya lebih dominan kepentingan pribadinya daripada kepentingan organisasi. Dan jika ada masalah terkait politik, nama NU akan ikut terbawa-bawa karena secara formal mereka juga merupakan pemimpin NU.

At Tijani Indonesia

Lalu, jika terpilih maka tidak serta merta NU atau warga NU mendapatkan manfaat sebagaimana dijanjikannya semasa kampanye. Pengurus NU yang terpilih sudah akan mulai sibuk mengumpulkan modal untuk pemilihan periode keduanya. Jika tidak terpilih, perpecahan dalam kepengurusan yang sebelumnya timbul tidak dengan mudah bisa dikompakkan kembali.

Upaya untuk mengurangi politisasi NU sudah dilakukan seperti keharusan mundur jika mencalonkan diri dalam pilkada dari yang sebelumnya hanya nonaktif selama masa kampanye dan pemilihan dalam pilkada. Upaya tersebut tampaknya belum memadai mengingat yang berkepentingan terhadap aspek politik di NU ternyata bukan hanya mereka yang ingin nyalon, tetapi juga pengurus yang jadi tim sukses serta pejabat publik lainnya yang dipilih melalui mekanisme politik. Posisinya di NU bisa menimbulkan konflik kepentingan. Karena itu, aturan tentang pejabat publik atau pengurus partai politik yang boleh menjadi pengurus harian di NU mungkin harus dipikirkan ulang untuk dibuat lebih ketat karena kemungkinan adanya konflik kepentingan ini. Dalam aturan yang ada sekarang, pengurus yang dilarang menduduki jabatan publik hanya mereka yang dipilih langsung dalam forum musyawarah sesuai dengan tingkatannya. Jika di tingkat PBNU, hanya rais aam dan ketua umum tanfidziyah yang dilarang. Pengurus lain masih diizinkan rangkap jabatan.

Mekanisme lain agar para pengurus NU fokus pada program kerja, sangat penting untuk membuat sebuah mekanisme evaluasi rutin yang terukur. Dengan demikian, akan diketahui kinerja masing-masing pengurus atau tingkat kepengurusan secara transparan. Niat mengabdi kepada NU bukan berarti tanpa evaluasi atau bekerja ala kadarnya sesuai dengan senggangnya waktu yang dimiliki atau kadar usaha yang ingin dilakukan, tidak yang dimaksimalkan. Jika satu posisi dipegang orang yang tidak berkinerja baik, lebih baik diganti demi keberlangsungan organisasi. Toh, sangat banyak kader NU lainnya yang siap mengabdikan dirinya. Dengan demikian NU akan rame ing program, sepi ing pilkada (aktif dalam menjalankan kegiatan, tidak terlalu aktif dalam urusan pilkada), bukan sebaliknya. (Mukafi Niam)

?


Dari Nu Online: nu.or.id

At Tijani Indonesia Kiai At Tijani Indonesia

Related Posts

Posting Komentar