Memaknai Sebenar-benarnya Hakikat Idul Fitri

Posting Komentar
Oleh Fathoni Ahmad

Bangsa Indonesia tidak hanya memaknai Idul Fitri atau Lebaran sebagai hari raya maupun hari kemenangan saja, tetapi juga memaknainya sebagai bentuk penguatan silaturrahim di antara keluarga, tetangga, dan masyarakat dengan saling memaafkan dari lubuk hati yang paling dalam. Tradisi maaf-memaafkan ini tidak lepas dari makna Idul Fitri itu sendiri. Kelapangan dada dalam makna ini turut mewarnai Idul Fitri sehingga masyarakat Indonesia menyebutnya Lebaran (asal kata lebar, artinya lapang).

Memaknai Sebenar-benarnya Hakikat Idul Fitri (Sumber Gambar : Nu Online)
Memaknai Sebenar-benarnya Hakikat Idul Fitri (Sumber Gambar : Nu Online)

Memaknai Sebenar-benarnya Hakikat Idul Fitri

Tradisi saling berkunjung dan bersilaturrahim ini bahkan tidak terdapat pada umat Islam di negara lain. Setelah menunaikan sholat Idul Fitri, mereka langsung beranjak ke rumah masing-masing dan hanya merayakannya dengan keluarga. Berbeda dengan Indonesia yang mampu menciptakan harmonisasi kehidupan untuk memaknai Idul Fitri sebagai hari kemenangan dan kembali suci bersama masyarakat banyak.

?

Alasan kuatnya menyambung silaturrahim di momen Idul Fitri inilah yang turut menciptakan tradisi mudik atau pulang kampung menjelang lebaran tiba. Berkumpul bersama keluarga, saudara, dan handai taulan di kampung kelahiran. Bahkan yang belum sempat pulang kampung menjelang lebaran karena tidak mendapatkan tiket mudik maupun masih harus bertugas di kota, mereka melakukannya pasca lebaran.

At Tijani Indonesia

Berbagai kuliner dan makan khas juga dikreasikan masyarakat muslim Indonesia untuk menyambut datangnya hari raya Idul Fitri. Opor ayam, kupat (ketupat), kue lepat, dan makanan-makanan khas lainnya. Makanan khas tersebut juga bukan hanya sebatas makanan, tetapi mempunyai filosofi dan makna yang sangat dalam.

?

At Tijani Indonesia

Seperti kupat yang mempunyai kepanjangan ngaku lepat. Bahasa Jawa tersebut mempunyai arti mengaku salah. Mengakui segenap kekhilafan, dosa, dan kesalahan merupakan hakikat kembali pada kesucian sesuai esensi Idul Fitri. Sebab itu, meminta maaf dan memberi maaf harus menjadi kesadaran bersama untuk memaknai hakikat Idul Fitri dalam arti yang sebenar-benarnya.

Dalam genggaman umat Islam di Indonesia, salah satu hari besar dalam Islam ini menyatukan berbagai unsur, yakni nilai-nilai agama, penguatan identitas bangsa, penumbuhan tradisi dan budaya positif melalui silaturrahim, serta peneguhan cinta tanah air yang diejawantahkan melalui tradisi mudik atau pulang kampung.

?

Dengan kata lain, muara dari hari kemenangan ini selain meningkatkan kesalehan transedental, juga menguatkan kesalehan sosial sebagai tujuan utama manusia dalam beragama. Kesalehan sosial ini akan membentuk keterbukaan pola pikir, keluasan pandangan, tenggang rasa, dan toleransi terhadap seluruh umat manusia, apapun suku, etnis, budaya, ras, dan agamanya.

Beragama yang benar

Pada bagian ini, penulis ingin mengungkapkan keterangan Muhammad Quraish Shihab dalam buku anggitannya Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Mizan, 1999). Mufasir kenamaan asal Indonesia ini memberikan penjelasan substantif mengenai hakikat Idul Fitri dengan bahasa yang lugas dan membumi.

Megurai arti Idul Fitri, Quraish Shihab mengartikan bahwa Id berarti kembali dan fithr dapat diartikan agama yang benar atau kesucian atau asal kejadian. Kalau umat Islam memahaminya sebagai agama yang benar, maka hal itu menuntut keserasian hubungan karena keserasian tersebut merupakan tanda keberagaman yang benar.

?

Dalam hal ini, Nabi Muhammad SAW bersabda, Al-Din Al-Muamalah. Nasihat menasihati dan tenggang rasa juga termasuk ajaran agama karena Nabi SAW juga bersabda, Al-Din Al-Nashihah. Dengan demikian, setiap yang ber-Idul Fitri harus sadar bahwa setiap orang dapat melakukan kesalahan; dan dari kesadarannya itu ia bersedia untuk memberi dan menerima maaf.

Fithrah berarti kesucian. Ini dapat dipahami dan dirasakan maknanya pada saat seorang hamba duduk merenung sendirian. Ketika pikiran mulai tenang, kesibukan hidup atau haru hati telah dapat teratasi, akan terdengar suara nurani yang mengajaknya berdialog, mendekat bahkan menyatu dengan suatu totalitas wujud Yang Maha Mutlak, yang mengantarnya untuk menyadari betapa lemahnya manusia di hadapan-Nya, dan betapa kuasa dan perkasanya Yang Maha Agung itu.

Suara yang didengar itu adalah suara fithrah manusia, suara kesucian. Setiap orang memiliki fithrah itu, terbawa serta olehnya sejak kelahiran, walaupun sering terabaikan karena kesibukan dan dosa-dosa sehingga suaranya begitu lemah hanya sayup-sayup terdengar. Suara itulah yang dikumandangkan pada Idul Fithri, yakni Allahu Akbar, Allahu Akbar.?

Jika kalimat pengagungan Allah itu tertancap dalam jiwa, maka akan hilanglah segala ketergantungan kepada unsur-unsur lain selain Allah semata. Tiada tempat bergantung, tiada tempat menitipkan harapan, tiada tempat mengabdi, kecuali kepada-Nya. Ketika hal itu terjadi pada seseorang, terjadilah apa yang seperti dilukiskan oleh ulama kenamaan Ibnu Sina dalam Al-Isyarat wa Tanbihat (Disadur dari Abdul Halim Mahmud, Al-Tafkir Al-Falsafiy fi Al-Islam, Dar Al-Kutub Al-Lubnaniy, 1982) sebagai berikut:

Orang tersebut menjadi arif, yang bebas dari ikatan raganya. Dalam dirinya terdapat ikatan yang tersembunyi, namun pada dirinya sendiri tampak sebagai sesuatu yang nyata. Ia selalu gembira, banyak senyum. Betapa tidak, sejak ia mengenal-Nya, hatinya dipenuhi oleh kegembiraan. Dengan melihat Yang Maha Suci, semua dianggapnya sama, karena memang semua makhluk Allah. Semua wajar mendapatkan Rahmat, baik yang taat maupun yang bergelimang dosa. Ia tidak akan mengintip-intip kelemahan orang, tidak pula mencari kesalahannya. Ia tidak akan marah, tidak pula tersinggung, walaupun melihat yang mungkar sekalipun, karena jiwanya selalu diliputi Rahmat dan kasih sayang, dan karena ia memandang keindahan, ia melihat sir Allah (rahasia Allah) terbentang ke dalam qudrat-Nya. Bila ia mengajak kepada kebaikan, ia akan melakukannya dengan lemah lembut, tidak dengan kekerasan, tidak pula dengan kecaman, kritikan yang melukai atau ejekan. Ia akan selalu menjadi pemaaf. Betapa tidak, sedang di dadanya sedemekian lapang, sehingga tidak ada tempat bagi kesalahan orang lain. Ia tidak akan menjadi pendendam. Bagaimana ia mampu mendendam, sedang seluruh ingatannya hanya tertuju kepada Yang Maha Suci lagi Maha Agung itu.

Terkait dengan kesucian, menurut Quraish Shihab kesucian adalah gabungan tiga unsur, yaitu benar, baik dan indah. Sehingga seseorang yang ber-Idul Fitri dalam arti kembali ke kesuciannya akan selalu berbuat yang indah, benar, dan baik. Bahkan lewat kesucian jiwanya itu, ia akan memandang segalanya dengan pandangan positif. Ia selalu mencari sisi-sisi yag baik, benar, indah. Mencari yang indah melahirkan seni, mencari yang baik menimbulkan etika, dan mencari yang benar menghasilkan ilmu.

Dengan pandangan yang demikian, ia akan menutup mata terhadap kesalahan, kejelakan, dan keburukan orang lain. Kalaupun itu terlihat, selalu dicarinya nilai-nilai positif dalam sikap negatif tersebut. Dan kalau pun itu tak ditemukannya, ia akan memberinya maaf bahkan berbuat baik kepada yang melakukan kesalahan. Selamat berlebaran!

?

Penulis adalah Pengajar di Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta.

Dari Nu Online: nu.or.id

At Tijani Indonesia Khutbah, Ubudiyah, Doa At Tijani Indonesia

Related Posts

Posting Komentar