Masa Depan Dakwah Islam di Indonesia

Posting Komentar
Oleh R. Ahmad Nur Kholis

Sejarah Nusantara mengatakan kepada kita bahwa Islam di Indonesia lebih menonjol penyebarannya dengan menggunakan budaya sebagai media utama. Meskipun tidak mengalami perkembangan yang berarti selama lebih kurang 500 tahun, namun kemudian terjadi secara massif di masa wali songo.

Moderatisme, toleransi dan sikap tawazun (penuh pertimbangan) dalam kehidupan sosial setidaknya menjadi kunci sukses para Wali Songo itu. Meskipun perkembangannya juga dipengaruhi kondisi politik, namun praktis bisa dikatakan bahwa Islam berkembang dengan pesatnya tampa menimbulkan pertumpahan darah sedikitpun.

Masa Depan Dakwah Islam di Indonesia (Sumber Gambar : Nu Online)
Masa Depan Dakwah Islam di Indonesia (Sumber Gambar : Nu Online)

Masa Depan Dakwah Islam di Indonesia

Pada masa para wali ini, Islam kemudian berkembang sedemikian rupa hingga membentuk sebuah institusi sendiri yang mengatur sendi kehidupan masyarakat. Hal ini ditandai dengan beridirnya kesultanan Demak yang menggunakan Islam sebagai konstitusinya. Hukum Islam digali dari berbagai referensi kitab fiqih abad pertengahan khususnya madzhab Syafi’i.

Pada masa berikutnya, agama nasrani datang bersamaan dengan kolonialisme negara-negara Eropa. Pada masa inilah maka kondisi perubahan peta politik Islam di Nusantara mulai terjadi. Kolonial Belanda telah memasangkan pengaruhnya di Nusantara dan relatif berhasil dalam memecah belah politik Islam.

At Tijani Indonesia

Bersamaan dengan itu, pada sekitar tahun 1700-an datanglah ke Indonesia paham Islam puritan Wahabi yang dibawa dari timur tengah. Sikapnya yang begitu ekstrim terbukti telah mengakibatkan perang saudara di Nusantara yang kemudian dimanfaatkan oleh penjajah. Hal demikian ini membuat politik Islam semakin melemah. Maka secara politis semakin berkuasalah penjajah di bumi nusantara.

Hal demikian ini membuat Belanda mampu memasang sebuah konstitusi yang secara lambat laun kemudian melemahkankonstitusi islami yang telah dibangun sejak masa sebelumnya. Dampak logisnya, kondisi demikian telah mampu sedikit demi sedikit telah mampu menggeser pola hidup Islami masyarakat yang sejak sebelumnya telah dilaksanakan mereka secara sistematis.?

Memang bisa dikatakan bahwa para Wali Songo telah mampu mengislamkan masyarakat Islam dan Islam sebagai agama menjadi dipeluk oleh sebagian besar warga negara Indonesia. Namun jika membicaakan kualitas keislaman dalam arti ketaatan beragama secara penuh, maka prosentasenya berbeda-beda. Hal inilah yang mendorong Greetz dan Feillard membagai masyarakat Islam menjadi abangan dan santri. Bahwa Islam abangan adalah Islam yang tidak begitu taat dalam menjalankan syariat dan santri adalah yang lebi taat.?

Dalam menyikapi hal ini, kalangan Islam di Indonesia telah berbeda-beda dalam gayanya. Beberapa diantara ummat Islam menginginkan sistem Islam kembali digunakan secara formal. Kelopok ini kemudian mati-matian berjuang dari atas. Kelompok yang lain memilih perjuangan dalam menyadarkan masyarakat bawah dalam beragama Islam. Meskipun berbeda gaya, namun tujuannya sama, yakni dakwah, dalil yang digunakan pun juga sama yakni, Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Jelasnya, bagaimana Islam mampu dihayati oleh masyarakat. Contoh Kasus gerakan Islam yang ditampilkan organisasi-organisasi seperti Syarikat Islam, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Masyumi dapat dijadikan contoh dalam kasus ini.

Pasca kemerdekaan, politik Islam menjadi tolok ukur yang paling mudah untuk dijadikan ukuran seberapa kuantitas santri dan abangan di Nusantara setelah dakwahnya yang berlangsung selama ratusan tahun. Dari sudut pandang politis, Islam terpecah setidaknya ke dalam dua kelompok besar yang pada mulanya bersatu. Kelompok Islam yang mengaku lebih progresif kala itu bergabung dalam Masyumi, sedangkan Islam pesantren (yang notabane-nya dianggap lebih kolot) berada dalam NU. Secara kuantitas ketika itu, seandainya bersatu maka Islamlah pemenangnya (Masyumi 20%, NU 18% disamping PNI 22% dan PKI 14%). Namun karena terpecah menjadi dua maka hal tersebut tidak terjadi.

At Tijani Indonesia

Pada masa kemudian, peran politis NU menjadi semakin melemah bahkan sampai saat ini. Di mana dalam pandangan penulis, keadaan itu disamping disebabkan peran pemerintah dalam menekan Islam, juga disebabkan oleh keributan di antara ummat Islam sendiri.

Bahwasanya Islam sebagai kekuatan budaya di Indonesia adalah dapat dipercaya meskipun secara formal tidak dipakai sebagai konstitusi negara. Namun kekuatan budaya ini harus senantiasa diimbangi dengan proses institusionalisasi di sisi lain yang dilakukan setahap demi setahap. Para elit muslim selayaknya sudah harus memikirkan hal ini. Hal demikian ini karena sudah menjadi sunnatullah bahwa kondisi kehidupan dunia ini yang karena pengaruh modernitas, budayanya semakin tergerus dan mengalami degradasi. Di sinilah maka proteksi dari sebuah konstitusi menjadi diperlukan.?

Ada yang mengatakan bahwa, “Dalam sebuah sistem yang baik, orang jahat diajak menjadi baik. Sedangkan dalam sistem yang jelek, orang baik diajak menjadi jahat.” Dalam hemat penulis, Islamlah sistem yang baik itu. Oleh karena Fiqih Islam tidak sebagaiman hukum sekuler yang semata-mata bertumpu pada kondisi sosial masyarakat belaka, namun juga diwarnai oleh campur tangan Tuhan.

Demikianlah maka perntanyaannya kemudian, bisakah para elit Islam mampu berpikir di manakah dia harus mengedepankan perbedaannya dengan kelompok Islam yang lain. Dan dimana pula ia harus bersatu dalam sebuah ikatan Ukhuwwah Islamiyah.

Nahdlatul Ulama sejak tahun 1985 telah merumuskan konsep persatuan ini kedalam 3 (tiga) bentuk, yakni Ukhuwah Islamiyah (Pesatuan Islam), Ukhuwah Wathaniyah (Persatuan Kebangsaan), dan Ukhuwah Basyariyah (Persatuan Kemanusiaan). Namun apakah ketiga prinsip ini mudah dalam tataran praktik untuk membantuk Ummatan Wahidah, nampaknya ini masih menjadi PR besar umat Islam khususnya para elitnya.

Ketidaksadaran akan hal ini hanya akan membuat penghayatan masyarakat akan Islam sebagai bagian hidupnya semakin lama semakin berkurang. Sungguh berat rasanya mengemban amanat dakwah. Tapi hal inilah yang menjadikan kita umat Islam sebagai ummat terbaik (Khaira Ummah).

Penulis tinggal di Karangploso, Malang, Jawa Timur.

Dari Nu Online: nu.or.id

At Tijani Indonesia Doa, IMNU, Aswaja At Tijani Indonesia

Related Posts

Posting Komentar