NU dan Penentuan Awal Bulan Kamariah

Posting Komentar
Oleh Moh. Salapudin



Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LF PBNU) mengikhbarkan bahwa tanggal 1 Muharram 1438 H jatuh pada hari Senin, 3 Oktober 2016, atau persisnya dimulai sejak Ahad (1/10) malam nanti. PBNU mengistikmalkan bilangan bulan Dzulhijjah 1437 H menjadi 30 hari karena tidak ada yang berhasil mengamati hilal pada pelaksanaan rukyatul hilal pada Sabtu (1/10) kemarin. (At Tijani Indonesia, 2/10).

NU dan Penentuan Awal Bulan Kamariah (Sumber Gambar : Nu Online)
NU dan Penentuan Awal Bulan Kamariah (Sumber Gambar : Nu Online)

NU dan Penentuan Awal Bulan Kamariah

Ketika berita di atas di-share di group WhatsApp Keluarga Besar Mahasiswa Ilmu Falak UIN Walisongo Semarang, terjadi diskusi panjang. Pasalnya, banyak yang sudah merayakan ritual tahun baru hijriah pada Sabtu (1/10) malam kemarin. Alasannya adalah karena keadaan hilal pada pelaksanaan rukyatul hilal kemarin sudah memenuhi kriteria imkan rukyat yang dipedomani pemerintah (imkan rukyat kriteria MABIMS), yakni tinggi hilal minimal 2 derajat, jarak sudut matahari-bulan (elongasi) 3 derajat, dan umur bulan dari saat ijtimak 8 jam.

Tinggi hilal saat pelaksanaan rukyatul hilal pada Sabtu (1/10), kemarin, sebagaimana dipublikasikan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), berkisar antara 2,90 derajat di Merauke, Papua, sampai dengan 4,33 derajat di Banda Aceh, Aceh. Dengan elongasi 3,7 sampai 4,9 derajat, dan umur bulan lebih dari 8 jam. Jika mengunakan hisab imkan rukyat kriteria MABIMS, maka keadaan hilal tersebut dapat dijadikan alasan masuknya awal bulan baru sehingga awal bulan Muharram 1438 H jatuh pada Sabtu (1/10) atau persisnya dimulai pada Sabtu malam kemarin. ?

At Tijani Indonesia

Masalahnya, meskipun keadaan hilal sudah memenuhi kriteria MABIMS, ternyata pada pelaksanaan rukyatul hilal tidak ada yang berhasil melihat hilal. Dalam kasus semacam ini, NU akan mengistikmalkan bilangan bulan sebelumnya menjadi 30 hari, sehingga awal Muharram 1438 H, sebagaimana diikhbarkan PBNU, jatuh pada Senin (3/10) atau persisnya dimulai sejak Ahad malam nanti. Kasus ini sebenarnya bukanlah yang pertama kali. Pada penetapan awa bulan Rabiul Akhir 1437 H lalu, keadaan hilal juga sudah memenuhi krieria imkan rukyat MABIMS, namun karena tidak ada yang berhasil melihat hilal pada pelaksanaan rukyat hilal, maka NU mengistikmalkan bulan Jumadil Akhir 1437 H.

At Tijani Indonesia

Sebagai jam’iyah diniyah (organisasi sosial kegamaan Islam) yang berhaluan Ahlussunah wal Jama’ah, NU menjunjung tinggi dan mengikuti ajaran Rasulullah SAW serta tuntunan para sahabat Rasulullah SAW dan ijtihad para ulama mazhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali). NU juga berkewajiban untuk senantiasa mengamalkan, mengembangkan dan menjaga kemurnian ajaran agama Islam yang diyakininya, termasuk dalam hal penetapan waktu/tatacara ibadah yang dianggap sah dan utama. Menurut keyakinan NU, metode yang mu’tamad (yang dapat dijadikan pegangan), dalam hal penentuan awal bulan kamariah, terlebih pada bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, adalah rukyatul hilal.

Dasar hukum dipilihnya rukyat oleh NU, selain hadits-hadits Nabi tentang hisab rukyat, tentu saja pendapat para ulama. Para ulama yang diikuti pendapatnya, sebagaimana terdapat dalam “Buku Pedoman Rukyat dan Hisab Nahdlatul Ulama” adalah: Imam Mazhab Empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali), Imam Nawawi, Imam Ibnu Hajar, Imam ar-Ramli, Imam Bakhit al-Mu’thi, Imam Ba’lawi, dan ulama lainnya. Adapun kitab-kitab karya ulama klasik yang dirujuk NU adalah Fiqh ala al-Mazahibi al-Arba’ah, Majmu’, Tuhfah al-Muhtaj, Nihayah al-Muhtaj, Irsyadu Ahli al-Millah, I’anatut Thalibin, Bughyah al-Mustarsyidin, Syarah Ihya’ Ulumuddin, Fathul Bari, Bidayatul Mujtahid, al-Isyadatul Saniyah, Fatawa ar-Ramli, al-Alamul Mansyur fi Isbathi Syuhur, al-Fatawa asy-Syar’iyah, dan al-Mahalli.



Semua ulama tersebut berpendapat bahwa awal bulan kamariah, khususnya awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, ditentukan berdasarkan rukyatul hilal, dan jika rukyat tidak berhasil maka dilakukan istikmal. Bahkan, term rukyat dalam hadits-hadits hisab rukyat bersifat ta’abbudi ghair al-ma’qul al-ma’na (tidak dapat dirasionalisasi). Itulah alasan mengapa hingga sekarang NU masish memegang teguh rukyatul hilal.

Adapun terhadap kriteria imkan rukyat sebagaimana yang digunakan oleh pemerintah saat ini, PBNU tidak menolaknya secara mutlak. PBNU menggunakan hisab krieria imkan rukyat untuk menerima/menolak laporan rukyatul hilal. Artinya, jika keadaan hilal sudah memenuhi imkan rukyat dan ada kesaksian rukyatul hilal, maka kesaksian tersebut akan diterima. Sebaliknya, jika keadaan hilal masih di bawah kriteria imkan rukyat, dan ada yang mengaku melihat hilal, maka kesaksian tersebut akan ditolak.

Kasus tersebut pernah terjadi misalnya pada saat awal Syawal 1418 H dan Ramadhan 1427 H. Pada saat itu ada yang mengaku dapat melihat hilal, namun karena keadaan hilal tidak memenuhi kriteria imkan rukyat, maka PBNU menolak kesaksian itu. Pada kedua kasus tersebut, memang terdapat dinamika di internal NU, yakni keputusan PWNU yang menerima kesaksian hilal pada saat itu.

Penulis pernah belajar ilmu falak di UIN Walisongo SemarangDari Nu Online: nu.or.id

At Tijani Indonesia Cerita At Tijani Indonesia

Related Posts

Posting Komentar