Yasmin

Posting Komentar
Perpisahan ini cuma sementara. Aku yakini itu. Tapi entah kapan kita dapat berjumpalagi. Hanya Dia yang tahu.

Dialah anak gadisku yang baru merasakan remaja. Baru sebulan lalu usianya genap 15. Masih nyata gelak tawanya saat ia hanya kuhadiahi martabak buatanku yang ternyata asin berlebihan. Baru kali itu juga ia mencicipi rasanya martabak.

Yasmin (Sumber Gambar : Nu Online)
Yasmin (Sumber Gambar : Nu Online)

Yasmin

Fitrotul Yasmin, kunamai ia saat kulahirkan di gubukku. Ia tumbuh cerdas, sehat, sampai-sampai aku tak bisa mempercayai di usianya yang masih balita, perawat di puskesmas bilang Yasmin lumpuh. Polio. Lima huruf itu merenggut masa kanak-kanaknya.

At Tijani Indonesia

Aku mendekapnya, menciumi matanya yang bening. Yasmin hanya tersenyum, tak tahu bahwa ia tak bisa lagi berlarian dengan teman sejawatnya.

Dua tahun berlalu, aku tak pernah mendengar Yasmin mengeluh atas keadaannya. Dia menerima. Malah aku yang kerap menitikkan air mata di depannya.

At Tijani Indonesia

Suatu hari, tetanggaku memberinya sebuah kursi roda bekas. Ia senang bukan kepalang. Terus saja dilap sampai mengkilat. Dipamerkannya kepada teman sekelas yang malah balik mengejeknya. Tapi Yasmin tetap tertawa riang duduk di kursi rodanya.

Yasmin kuikutkan belajar mengaji tiap bada ashar dan malam bada maghrib kepada ustadzah Aisyah di surau ujung komplek perkumuhan ini.

Yasmin sangat cerdas, sering kali melontarkan pertanyaan yang sama sekali aku tak tau jawabannya.

"Mak, kalau Yasmin shalat kok saat takbir sama sujud kedua tangan Yasmin berbeda sama tangannya Harun?"

Kupandang ia dengan jawaban kosong.

"Mak, yang seharusnya kita inginkan itu ridlonya Allah atau surga Allah sih?" aku garuk-garuk kepala sendiri mendengarnya.

Suatu waktu, Yasmin juga ngambek. Gara-gara pulang sekolah, memergoki aku di rambu jalan raya, mengemis. Saat itu aku ingin coba-coba ikut tetanggaku yang mengemis. Tapi Yasmin protes.

"Mak, mending emak jadi pembantu, tukang cuci, penjahit, atau apalah seperti biasanya, sebisa Emak, semampu Emak. Asal satu, jangan mengemis! Selama kita punya keahlian dan kemampuan, harus digunakan!"

"Hasilnya tak cukup, Yas."

"Cukup. Insya Allah cukup. Hasil Emak nyuciin baju ibu-ibu komplek sebelah, hasil jahitan Emak, cukup kok. Nyatanya kita tak pernah kekurangan. Tak pernah ngutang sana-sini. Alhamdulillah kan rizqi kita cukup, meski tidak lebih sama sekali," ujarnya.

Ya, itu saat usianya 10 tahun. Ia mengajarkanku banyak hal.

**

"Bungkusan apa ini, Mak? Nasi kering? Kalo iya, buat Emak aja. Yasmin udah makan  kok tadi di sekolah."

"Buka dulu, baru komentar."

Ia hampir meloncat kaget tatkala mengetahui isinya martabak.

"Mak...ini?"

"Emak bikin sendiri tadi siang saat disuruh jagain rumahnya pak Haji Darmawan. Emak juga udah izin make bahan sama peralatan di dapurnya. Ya, emak sih belum nyobain bagaimana rasanya."

Yasmin mendorong cepat kursi rodanya ke arahku yang sedang menjahitkan rok sekolahnya yang sobek. Ia menghambur memelukku. Yasmin menangis.

Kemudian hening, kami saling diam.

Yasmin yang biasanya komentar ini itu, cuma diam memelukku. Apalagi aku, ikut terisak memeluknya.

"Mak, Yasmin tak berharap sama sekali kado dari siapapun hari ini. Yang Yasmin inginkan di hari kelahiran Yasmin adalah Allah kasih kebahagiaan yang luar biasa buat Emak hari ini. Yasmin ingin Emak bahagia dari hari-hari biasanya. Apa Emak sangat bahagia hari ini?"

Aku tercengang. Apa katanya? Apa permohonannya tadi? Kebahagiaanku di hari istimewanya?

"Yasmin tak berharap lebih sama ulang tahun Yasmin. Karena Yasmin tahu, kita bukan mereka yang bisa mudah merayakan hari-hari istimewanya. Iya kan Mak?"

"Iya sayang, emak ingin banget kasih kamu sesuatu hari ini. Dan ya, hanya ini yang bisa emak kasih ke kamu, Yas."

"Iya, terima kasih Mak, Yasmin beruntung sekali punya Emak di kehidupan Yasmin. Sampai kapan pun."

Aku tambah erat memeluknya.

"Apa hari ini Emak sangat bahagia?"

Aku mengangguk.

"Kamu tahu sayang apa yang bikin emak bahagia?"

Yasmin menggeleng.

"Karena kamu anak emak. Karena kamu belahan hati emak."

Yasmin menggeleng sekali lagi.

"Tidak, Mak,  yang lebih bahagia Yasmin, karena kalau tak ada Emak, Yasmin bukan siapa-siapa. Bahkan jika sampai nafas Yasmin terhenti berikut juga detak jantung Yasmin, sampai kapan pun, jasa Emak tiada terbalaskan."

Ia menghapus air mataku.

"Lihat anak Emak, sekarang udah jauh lebih pinter yach. Pinter nge-gombalin Emaknya," aku mengerling ke arahnya. Dia terbahak-bahak.

Selanjutnya, saat Yasmin mencomot martabakku ia terdiam tanpa ekspresi. Kubalas ekspresi itu dengan tanya "mengapa?"

Yasmin masih terdiam. Tiba-tiba dia terbahak sekali lagi.

"Martabaknya dikasih garam berapa kilo ini mak?”

“Hahahahaha..."

**

Pekat malam dengan hembusan angin yang kasar kurasakan. Firasatku tak begitu enak. Kularang dulu Yasmin berangkat mengaji bada maghrib. Ternyata benar, selang lima menit tiba-tiba langit bergemuruh. Liukan pohon sekitar rumah kami seperti hendak roboh. Kami berdua meringkuk di sudut kamar dengan dzikir. Yang kutakutkan, jika tiba-tiba gubuk kami roboh.

Yasmin juga sama takutnya. Ia fasih melafalkan surat Yaasin sebagai dzikirannya. Ia hafal diluar kepala. Sedangkan aku cuma sebisaku.

Malam beranjak larut pekatnya semakin tak karuan. Ada apa langit malam ini seperti murka?

Yasmin tertidur di sebelahku. Kuselimuti ia dengan jarik batik warisan nenekku. Sebelum terlelap, Yasmin membisikkan sesuatu di telingaku.

"Mak, se-mengerikan apapun keadaan di luar sana, hati Yasmin tetap tenang. Karena Emak selalu ada di sisi Yasmin. Kalau Emak tak percaya dan masih menganggap Yasmin nge-gombal, baca aja di buku harian Yasmin, tuh Yasmin taruh di belakang lemari."

"Iya deh, emak percaya. Udah, lekas tidur, besok bantuin emak goreng bakwan buat kantin sekolahmu."

Tepat pukul 11 malam. Pintu triplek gubukku terbuka dengan kasar. Didobrak seseorang dari luar. Dengan beringas seseorang itu berjalan terhuyung ke kamar kami. Remang-remang, kulihat sosok itu dengan penuh ketakutan.

Dia mengobrak-abrik seisi lemariku. Baju-baju kami berserakan. Yasmin terbangun dan meringkuk di dekapanku. Sosok laki-laki yang kulihat mengamuk. Membanting apa saja didalam kamar ini.

"Idaaaa...!! Kau taruh mana uangmu? Kasih semuanya sekarang kepadaku."

Laki-laki itu tajam menatapku. Aku tak beranjak sedikit pun meninggalkan pelukan Yasmin, karena aku tahu ia takut setengah mati tiap laki-laki itu datang ke rumah kami.

"Mak..." lirih Yasmin.

"Bawa sini uangnya!" bentak laki-laki itu sekali lagi.

Lalu tiba-tiba tangan Yasmin ditariknya. Lalu diseret paksa keluar kamar. Yasmin terpelanting ke bawah kasur lusuh kami dan mengaduh kesakitan. Aku tak bisa meraihnya kembali karena laki-laki itu sangat cepat menyeret Yasmin.

Di kursi ruang tamu, Yasmin dibenturkan tanpa ampun. Ia mengerang, laki-laki itu tertawa. Dadaku sesak, pertama kalinya kusaksikan belahan jiwaku yang kucintai disiksa bagai binatang. Aku berteriak minta tolong. Segera kuambil tabunganku yang tersisa. Kuberikan padanya dengan segera. Berharap Yasmin dilepas dari cengkeramannya. Laki-laki itu tak puas dengan pemberianku. Botol arak yang sedari tadi ia pegang dihantamkannya ke kepalaku. Kesadaranku hampir hilang, aku terjatuh di hadapan Yasmin. Laki-laki itu mencengkeram mulutku.

"Kau berani bohong sama suamimu! Istri macam apa kau?!"

Dia menamparku hingga ujung mulutku berdarah. Menjambak rambutku. Ditendangnya tubuhku, aku hampir tak sadarkan diri. Hingga saat terakhir, laki-laki itu di puncak kemarahannya dan hendak menendangku sekali lagi. Pasti ini tendangan terakhirnya yang mematikan. Aku melemah, menunggu izroil bila memang malam ini hidupku terhenti.

Saat laki-laki itu hampir mengenai tubuhku, Yasmin tiba-tiba berada di depanku. Kulihat dengan pandanganku yang mengabur Yasmin berdiri dengan kedua kakinya dan berlari ke arahku. Ia berdiri dengan sempurna. Tapi sepertinya ia tak menyadari mujizat Allah padanya kali itu. Ia menempatkan tubuh mungilnya di depanku. Menerima tendangan laki-laki itu. Tepat di dada kirinya kaki itu menghantam.

Yasmin tersungkur di depan wajahku. Nafasnya tersengal, aku merengkuhnya. Tiba-tiba saja tubuhku menguat. Yasmin terkapar hendak pergi. Nafas Yasmin semakin jeda. Matanya perlahan mengatup. Tapi ia menyunggingkan senyum kepadaku. Senyum termanis yang belum pernah kulihat. Matanya terpejam untuk sementara. Ya, benar.

Yasmin pergi…

Kudus, 2013

 

 

SISKA NUJUMUL LAILI, lahir di Kudus, 21 Desember 1992. Ia melalui pendidikan  SDN 01 Mlati Lor Kudus, MTs. NU Banat Kudus, MA NU Banat Kudus dan tercatat sebagai santriwati Pondok Pesantren Yanbu’ul Qur’an Kudus

 

Dari Nu Online: nu.or.id

At Tijani Indonesia Kajian At Tijani Indonesia

Related Posts

Posting Komentar