Revitalisasi Madrasah Diniyah Takmiliyah

Posting Komentar
Oleh Suwendi

Hari ini sampai besok, Selasa-Rabu, 12-13 September 2017, di Jakarta, Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (FKDT) mengadakan “hajatan”, yakni pengukuhan pengurus dan Rapat Kerja Nasional periode 2017-2022. Organisasi yang lahir tahun 2012, kini telah memiliki pengurus baik di tingkat pusat, propinsi, kabupaten, hingga kecamatan. Untuk tingkat propinsi, kini telah tersebar di 30 provinsi di seluruh Indonesia. 

Revitalisasi Madrasah Diniyah Takmiliyah (Sumber Gambar : Nu Online)
Revitalisasi Madrasah Diniyah Takmiliyah (Sumber Gambar : Nu Online)

Revitalisasi Madrasah Diniyah Takmiliyah

Propinsi yang belum ada organisasi FKDT terletak di propinsi Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, dan Kalimantan Utara. Di tingkat kabupaten/kota, FKDT telah berdiri setidaknya di 420 di Kabupaten/Kota. Sementara tingkat kecamatan, telah ada di 1.112 kecamatan. 

Organisasi ini lahir atas kesadaran dan kebulatan tekad masyarakat Indonesia untuk mendampingi, mengayomi, menjembatani, dan mengkomunikasikan penyelenggaraan dan kebijakan mengenai Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT), sebagai salah satu pilar civil society berbasis pendidikan keagamaan Islam. 

Berdasarkan data di Kementerian Agama (2016/2017), MDT kini berjumlah 84.796 lembaga yang terdiri atas jenjang ula sebanyak 72.853 lembaga, wustha sebanyak 10.330 lembaga, dan ulya sebanyak 1.613 lembaga. Adapun jumlah santri yang mengikuti layaan MDT ini berjumlah 6,000,062 jiwa, yang terdiri atas santri MDT jenjang ula sebanyak 5.472,140 jiwa, wustha sebanyak 451,989 jiwa, dan ulya sebanyak 75,933 jiwa. Adapun jumlah guru MDT secara total berjumlah 443.842 jiwa.

At Tijani Indonesia

Dalam sejarah pendidikan Islam di Indonesia, MDT hadir jauh sebelum Indonesia lahir. Kelahirannnya merupakan bagian dari metamorfosis, bahkan pada tingkat tertentu tidak bisa dilepaskan, dari lembaga pendidikan pondok pesantren, sehingga keberadaan antara pondok pesantren dengan MDT tidak bisa dipisahkan, karena penyelenggaraan MDT oleh dan berada di dalam pondok pesantren. Sebagian yang lain, MDT diselenggarakan di luar pondok pesantren terutama dengan memanfaatkan rumah ibadah seperti masjid atau mushalla, bahkan memiliki bangunan tersendiri.

 

MDT merupakan institusi luhur yang mengemban misi profetik keagamaan, dengan pendekatan pendidikan. Oleh karenanya, MDT dapat dipandang sebagai institusi dakwah-keagamaan dan institusi pendidikan secara sekaligus. Sebagai institusi dakwah-keagamaan, MDT memperkenalkan dan mengajarkan Islam yang sejuk, damai, toleran, dan menjunjung kearifan lokalitas keindonesiaan. 

Sementara sebagai institusi pendidikan, MDT memperkenalkan penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat, merakyat,  sederhana, dan penuh dedikasi keikhlasan. Hal inilah yang menjadi kata kunci mengapa MDT itu tetap eksis. Dengan posisi ini, MDT sungguh telah berkontribusi besar dalam merawat Islam-Indonesia yang santun, yang pada akhirnya menjadikan negara Indonesia sebagai negara yang mayoritas berpenduduk muslim. Oleh karenanya, kebijakan yang menafikan atau yang berpotensi mematikan MDT sesungguhnya menafikan Islam-Indonesia itu sendiri.

At Tijani Indonesia

Kesadaran komunal masyarakat Indonesia atas eksistensi MDT cenderung mencapai puncaknya pasca lahirnya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah. Permendikbud ini dinilai oleh FKDT dan sebagian besar masyarakat muslim Indonesia berpotensi akan mematikan MDT sehingga terjadi aksi penolakan di berbagai provinsi di belahan nusantara ini. Namun, kegaduhan pasca munculnya Permendikbud 23/2017 ini cenderung mereda dengan kelahiran Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. 

Dalam konteks input Rapat Kerja Nasional FKDT, FKDT hendaknya segera mengambil peluang yang begitu terbuka dari Perpres 87/2017 ini. Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), berdasarkan Perpres itu, dilakukan melalui layanan pendidikan formal, nonformal, dan informal. Pada jalur nonformal, ruang gerak MDT begitu terbuka dan besar kemungkinan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kesuksesan PPK. 

Keterbukaan ini perlu didorong tidak hanya di tingkat pemerintah pusat, tetapi juga melalui pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah provinsi. Di antara cara yang paling efektif adalah mengkonsolidasi seluruh pemerintah daerah baik kabupaten/kota maupun provinsi untuk segera mengeluarkan kebijakan Peraturan Daerah Wajib Belajar MDT yang dibarengi dengan alokasi anggaran yang cukup. Peraturan Daerah ini didudukkan sebagai penjelmaan dari program PPK, sebagaimana yang diamanahkandalam Perpers 87/2017.

Di sisi lain, FKDT juga hendaknya patut direvitalisasi sebagai kekuatan civil society yang memberikan input dan sekaligus penyeimbang atas kebijakan dan regulasi-kontraproduktif yang lahir dari negara. Pada titik tertentu, FKDT ada kalanya mendekat dengan negara bahkan menjadi ambil bagian dari kesuksesan kebijakan, dan pada titik yang lain FKDT harus berani menjauh dan memberikan kritik-produktif atas kebijakan yang diterapkan. Dengan memainkan peran ini, FKDT harus bersifat fleksibel namun konsisten dengan kebijakan yang pro-MDT.

Aspek lain yang mau tidak mau dilakukan oleh FKDT adalah harus menjadi gerbong dan kekuatan besar dalam menangani gelombang radikalisme-keagamaan yang terus terjadi di negeri ini. FKDT harus dapat menyadarkan masyarakat akan peran dan fungsi MDT, sebagai kekuatan terutama dalam membangun kesadaran keagamaan yang moderat dan berbasis keindonesiaan. MDT dan seluruh stakeholder pendidikan keagamaan Islam telah nyata menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kekuatan Islam-kultural yang mengajarkan kedamaian dan kebersamaan.

Untuk itu, secara akademik MDT harus mampu mengajarkan dan terus mempertahankan pengetahuan-pengetahuan keagamaan Islam yang berkarakter keindonesiaan. Ideologi keagamaan khas Indonesia menjadi kata kunci yang harus ditransformasikan dalam rangkaian akademik MDT. Demikian juga dengan kearifan lokal, semisal penguatan tulisan dan/atau bahasa pegon yang merupakan kekayaan khazanah keindonesiaan, perlu mendapat perhatian yang lebih serius.

Aspek lain yang perlu dilakukan adalah mendorong perluasan akses atas berdirinya MDT yang diselenggarakan secara masif oleh masyarakat. Perluasan akses ini untuk memperluas daya jangkau MDT, terutama pada siswa yang belajar di sekolah, yang menurut data Kementerian Agama daya jangkau MDT saat baru berkisar 13.46%, yakni 6,000,062 santri dari 44,559,915 siswa sekolah. 

Perluasan akses tidak untuk mendudukkan MDT sebagai bagian dari kegiatan ekstra-kurikuler dari sekolah yang diposisikan sama seperi halnya lembaga kursus. Akan tetapi, kelembagaan MDT dihadirkan secara utuh dengan seperangkat kurikuler dan standar ketenagaan yang mumpuni, dengan memanfaatkan bangunan sekolah.

Tentu, di samping beberapa usulan di atas masih banyak usulan dan strategi yang ada baiknya didiskusikan secara serius oleh peserta Rapat Kerja Nasional. Kehadiran dan diskusi peserta dan pengurus yang baru diharapkan melahirkan ide-ide kontributif bagi pengembangan MDT dan pendidikan keagamaan Islam lainnya. Seluruh masyarakat Indonesia berharap kiranya FKDT dapat melahirkan ide dan program kerja yang mampu benar-benar memperkuat keagamaan dan keindonesiaan sekaligus. Wallahu a’lam.

Penulis adalah Fungsionaris DPP FKDT, Tim Perumus Peraturan Menteri Agama tentang Pendidikan Keagamaan Islam dan Ma’had Aly.

Dari Nu Online: nu.or.id

At Tijani Indonesia Bahtsul Masail At Tijani Indonesia

Related Posts

Posting Komentar