Hubungan Umara-Ulama Tentukan Kondisi Bangsa

Posting Komentar
Cikura, At Tijani Indonesia. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyampaikan bahwa salah satu penentu sebuah bangsa yang baik ada pada hubungan baik antara sesama ulama serta antara ulama dan umara. Hal itu disampaikan Menag saat memberikan sambutan pada pembukaan acara Ijtima Ulama ke-5 di Pondok pesantren At-Tauhidiyah, Tegal, Jawa Tengah, Senin (07/06) sebagaimana dilansir oleh situs kemenag.go.id.

Dalam sambutannya, Menag menyampaikan bahwa kebutuhan mendasar dari setiap umat beragama adalah menjalankan hukum dan syariat agama yang diyakininya dalam kehidupan sehari-hari. Bagi Menag, hukum, sebagaimana masyarakat, senantiasa tumbuh dan berkembang sesuai kebutuhan masyarakat. “Kalau kita lihat sejarah, penerapan hukum Islam di Indonesia mengalami pasang surut sejak masa kolonialisme dan masa kemerdekaan hingga era reformasi,” papar Menag.

Hubungan Umara-Ulama Tentukan Kondisi Bangsa (Sumber Gambar : Nu Online)
Hubungan Umara-Ulama Tentukan Kondisi Bangsa (Sumber Gambar : Nu Online)

Hubungan Umara-Ulama Tentukan Kondisi Bangsa

Membaca sejarah, Menag menyampaikan bahwa pada zaman kerajaan dan keslutanan di Nusantara, hukum Islam sudah memiliki eksistensinya sebagai hukum yang hidup pada masyarakat muslim, terutama hukum perkawinan.  Akulturasi hukum Islam dengan adat berjalan harmonis, seperti di beberapa daerah semisal, Aceh, Sulawesi, Minangkabau, dan Riau; hukum Islam diterima sederajat dengan hukum adat. 

At Tijani Indonesia

“Hal ini dibuktikan dengan sebuah pepatah, adat basandi syara, syara basandi Kitabullah,” tandas Menag.

Dukungan untuk melaksanakan ajaran dan hukum Islam pada waktu itu bukan hanya dari para ulama, tetapi juga dari pengusaha politik, para raja dan sultan. Seperti tercatat dalam sejarah, kerajaan-kerajaan seperti kesultanan Aceh, Deli, Palembang, Gowa dan lainnya. Kerajaan-kerajaan tersebut telah menggunakan hukum Islam terutama hukum keluarga dan hukum perdata sebagai hukum positif di negerinya.

At Tijani Indonesia

Dalam pemerintahan dan perundang-undangan, Lanjut Menag, banyak materinya diambil dari kitab fiqh yang dianggap representatif, dan mendorong lahirnya peraturan lain yang bersumber dari hukum fiqh, seperti UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan PP No 28 tahun 1977 tentang perwakafan dan Undang-undang peradilan Agama.

“Selain itu, UU No 3 tahun 2006 tentang peradilan Agama, yang memberikan kewenangan baru di bidang ekonomi syariah, zakat dan infaq, selain perkawinan, kewarisan, hibah, wasiat, wakaf, dan shadaqoh,” tambah Menag.

Ketum MUI Din Syamsuddin menyampaikan Ijtima ini merupakan agenda 3 tahunan MUI khususnya komisi fatwa. Ijtima ulama pertama dilaksanakan di Jakarta, kedua, di Pondok Pesantren Gontor, ketiga, di Padang Panjang, ke empat di Ponpes Cipasung dan kelima di Ponpes At-Tauhidiyah, Tegal, Jateng. 

“Agenda 3 tahunan ini mempunyai maqam yang tinggi, dan fatwanya juga berada dalam maqam yang tinggi pula,” kata Din Syamsuddin.

Ijtima Ulama ini akan membahas tiga hal, yaitu: masalah-masalah kebangsaaan strategis, persoalan hukum kontemporer,  serta hubungan kelembagaan dan perundang-undangan. 

“Inilah pertanggungjawaban MUI terhadap permasalahan bangsa,” katanya.

Ketum MUI ini berharap, fatwa-fatwa yang dihasilkan ini nantinya menjadi pencerah dan pembimbing bagi ummat. (mukafi niam)

Dari Nu Online: nu.or.id

At Tijani Indonesia Sejarah, AlaNu At Tijani Indonesia

Related Posts

Posting Komentar