Berawal dari Mushala Kecil, Istiqomah Sistem Salafiyah

Posting Komentar
Probolinggo, At Tijani Indonesia. Sejak tahun 1967 silam, sistem pengajaran keagamaan di Desa Krejengan Kecamatan Krejengan Kabupaten Probolinggo sudah mulai berkembang. Hal ini dikarenakan saat itu ada pembelajaran agama lewat sebuah musholla kecil yang berkembang cukup pesat. Dari waktu ke waktu musholla tersebut selalu menjadi pusat pembelajaran agama masyarakat sehingga berubah menjadi sebuah pondok pesantren yang kelak dikenal dengan Pondok Pesantren Rabithatul Islam.

Berawal dari Mushala Kecil, Istiqomah Sistem Salafiyah (Sumber Gambar : Nu Online)
Berawal dari Mushala Kecil, Istiqomah Sistem Salafiyah (Sumber Gambar : Nu Online)

Berawal dari Mushala Kecil, Istiqomah Sistem Salafiyah

Keberadaan Pondok Pesantren Rabithatul Islam ini memang tidak bisa dilepaskan dari dua kiai yang masih besanan. Yakni, KH Abdur Rouf dan KH Thoha. Dimana sebelum pesantren berdiri, kedua kiai ini selalu mengajarkan ilmunya di musholla kecil yang banyak didatangi oleh santri. Uniknya, kedua kiai ini mempunyai sebuah kelebihan yang berbeda sehingga mampu melengkapi. KH Abdur Rouf yang ahli tabib mampu diimbangi oleh KH Thoha yang ahli dalam ilmu Al Qur’an dan agama lainnya.

Perjuangan yang dilakukan oleh KH Thoha tampaknya diteruskan oleh sang menantu KH Ahmad Bisyri. Upaya itu diwujudkan dengan mendirikan sebuah pesantren yang awalnya menggunakan sebuah rumah sebagai tempat dalam menampung santrinya. Hingga akhirnya pada tahun 1976, dia mendirikan MI Raudlatul Muta’allimin dan MA tahun 1983.

At Tijani Indonesia

“Untuk menampung para santri, Abah (Kiai Bisyri) membangun sebuah tempat tidur yang terbuat dari kayu yang biasa disebut cangkruk. Biasanya santri-santri menjadikan tempat itu untuk beristirahat,” ujar Kiai Muhammad Hafid, Pengasuh kedua Ponpes Rabithatul Islam yang merupakan putra Kiai Bisyri.

At Tijani Indonesia

Kiai Hafid menerangkan bahwasanya Abahnya dulu awalnya mondok dan nyantri di Pondok Pesantren Ihyaussunnah yang berada di Desa Sentong Kecamatan Krejengan Kabupaten Probolinggo. Untuk menambah ilmunya, dia kemudian mondok di Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong. Dari situlah dia kemudian mendapatkan penugasan menyebarkan agama Islam dari Pengasuh Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong KH Hasan Saifourridzal di kawasan Tengger.

“Kebetulan waktu itu Abah langsung mendapatkan penugasan di kawasan Tengger yang mayoritas masyarakat sangat memegang teguh keyakinan terhadap agamanya. Disamping itu, Abah juga mendapatkan amanat agar bisa mendirikan pondok pesantren,” jelasnya.

Sejak diasuh oleh Kiai Hafid, Pondok Pesantren Rabithatul Islam mengalami perkembangan yang cukup pesat. Di mana santrinya mampu mencapai 180 orang. Padahal waktu masih diasuh oleh Kiai Bisyri, rata-rata santrinya hanya berkisar antara 60 hingga 80 santri.

“Memimpin sebuah pondok pesantren itu tidaklah mudah. Butuh sebuah perjuangan dan kerja keras dari semua pihak. Apalagi sebelum Abah meninggal, beliau menyerahkan tanggung jawab perkembangan pesantren ini kepada saya. Oleh karena itu saya terus berupaya agar pesantren ini bisa terus maju dan berkembangan,” tegasnya.

Meskipun pesantrennya maju dengan pesat, namun Gus Hafid mengaku jika keinginannya untuk mendirikan laboratorium bahasa belum bisa terwujud. Hanya saja pendirian laboratorium ini masin terkendala dengan tenaga pendidikan dan sarana prasarana.

“Walau sudah lama berdiri, tetapi kami masih menggantungkan diri kepada suami-istri dan anaknya agar mau berkhidmat memajukan keberlangsungan pendidikan di pondok pesantren,” katanya.

Istiqomah Terapkan Sistem Pembelajaran Salafiyah

Sama seperti halnya dengan pondok pesantren pada umumnya, Pondok Pesantren Rabithatul Islam secara istiqomah menerapkan sistem pendidikan salafiyah. Dimana para santri mulai mengikuti kegiatan pesantren sejak pukul 03.00 WIB dengan sholat Tahajjud yang dilanjutkan dengan sholat Subuh berjamaah. Kemudian santri mengaji kitab kuning hingga pukul 06.00 WIB.

Yang berbeda pesantren ini dengan pesantren lainnya adalah pondok pesantren ini lebih mengutamakan pendidikan akhlak dalam mendidik para santri. Hal itu tergambar dalam ikhtiar Kiai Bisyri yang mengarang kitab Qisshotul Qiyamah, sebuah kitab tauhid. Kitab tersebut dikarang Kiai Bisyri saat masih nyantri di Pondok Pesantren Ihyaussunnah Desa Sentong Kecamatan Krejengan.

“Prinsip kami santri yang mondok disini akhlaknya harus bagus. Tingkah lakunya bisa mencerminkan seorang santri yang menghormati orang tuanya. Sebab rasanya percuma memiliki santri pintar tetapi akhlaknya jelek,” ujar Kiai Hafid.

Di Pondok Pesantren Rabithatul Islam diterapkan sejumlah metode pendidikan salafiyah meliputi madrasah diniyah, pengajian kitab kuning, holaqoh diniyah, Tahfidatul Qur’an hingga Jami’iyah Qurra’ wal Huffadz. Disamping juga mengelola lembaga kholafiyah atau modern seperti Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Raudlatul Atfal (RA).

Keberadaan pesantren lengkap dengan adanya lembaga pendidikan formal yang sediakan. Misalnya, Madrasah Ibtidaiyah (MI) Raudhatul Muta’allimin, Madrasah Tsanawiyah (MTs) Al-Islamiyah dan Madrasah Aliyah (MA) Zainul Hasan III. Walaupun berada di dalam lingkungan pesentren, namun lembaga formal tersebut juga menerima siswa dari luar pesantren. “Setidaknya sepulang dari sekolah umum, para santri bisa mengikuti sekolah diniyah,” katanya.

Lengkapnya lembaga pendidikan di Pondok Pesantren Rabithatul Islam membuat para santrinya sukses menuai sejumlah prestasi. Seperti juara harapan tingkat Provinsi Jawa Timur untuk lomba Qiroatul Qutub dan Qori’. Sementara untuk di tingkat Kabupaten Probolinggo, prestasi yang diraih antara lain juara pertama lomba kaligrafi, juara kedua lomba bahasa Arab tingkat MA.

Budayakan Selalu Dakwah

Meskipun disibukkan mengurus pesantren, tetapi Pengasuh Pondok Pesantren Rabithatul Islam Kiai Muhammad Hafid tidak melupakan keberadaan masyarakat. Oleh karenanya, pesantren ini kemudian mendirikan majelis taklim untuk bisa memberikan pencerahan tentang agama kepada masyarakat. Kegiatan itu berlangsung secara istiqomah sejak pondok ini baru berdiri.

“Kami tidak hanya memberikan ilmu kepada para santri saja, setiap hari kami juga memberikan pengajaran ilmu agama kepada ibu-ibu lansia yang minim ilmu agamanya. Misalnya ilmu fiqih, hadits, tafsir dan lain sebagainya,” kata Gus Hafid.

Demi mendekatkan diri kepada masyarakat, Gus Hafid juga rutin setiap dua minggu sekali menjadi imam di masjid berbagai desa, utamanya yang berada di dataran tinggi. “Pesantren itu tidak bisa dilepaskan dari masyarakat. Perkembangan pesantren merupakan bagian dari peran serta masyarakat. Oleh karena itu, pesantren harus dekat dengan masyarakat,” pungkasnya. (Syamsul Akbar)

Foto: Satu-satunya gubuk “cangkruk” yang menjadi saksi bisu berdirinya Pondok Pesantren Rabithatul Islam.

Dari Nu Online: nu.or.id

At Tijani Indonesia Internasional, Nahdlatul At Tijani Indonesia

Related Posts

Posting Komentar