Kh Hasyim Muzadi: Saya Ingin NU Seperti Republik Bukan Kerajaan

Posting Komentar
Nahdlatul Ulama (NU) akan menggelar Muktamar ke-32, di Asrama Haji Makassar, Sulawesi Selatan, pada 25-31 Januari 2009. Seperti biasanya, Muktamar selalu menjadi sorotan publik karena posisi NU sebagai organisasi terbesar di Indonesia. Bagaimana persiapan Muktamar tersebut dan masalah apa saja yang akan dibahas, berikut wawancara Wartawan 99% Indonesia Ikut NU, Arief Hidayat, dengan Ketua Umum Pengurus Besar NU, KH Hasyim Muzadi, beberapa waktu lalu.

Bagaimana persiapan Muktamar dan apa saja yang akan dibahas?
Tema Muktamar kali ini adalah Meningkatkan Khidmah Nahdliyah untuk Indonesia yang Bermartabat. Ada dua hal pokok dari tema tersebut. Pertama, peningkatan kualitas pelayanan terhadap umat. Kedua, mendorong bangsa ini agar mengangkat martabatnya. Untuk mencapai ke sana diperlukan perbaikan internal dan sumbangsih NU yang konkret terhadap bangsa dan negara secara konprehensif.

Agar pelayanan NU kepada umat berhasil, diperlukan pengkondisian awal, yaitu perbaikan struktur dan kualitas struktur. Syuriyah PBNU harus menjadi lembaga tertinggi yang efektif sebagai lembaga tertinggi. Hal ini menyangkut masalah syariat, bimbingan umat, dan pengendali gerak jamiyah. Untuk itu, Syuriyah perlu diisi oleh tenaga yang berkapasitas tinggi, bukan hanya yang ditinggikan.

Kh Hasyim Muzadi: Saya Ingin Nu Seperti Republik Bukan Kerajaan


Misalnya, di Syuriyah harus ada beberapa unsur. Pertama, unsur ahli syariat. Beliaulah yang bertanggung jawab tentang fatwa, bahtsul masail dan ahkamul fuqoha’. Dengan demikian, diperlukan ahli hukum syariat (faqih). Kedua, unsur kiai yang ahli riyadhoh dan tirakat yang dengan bashiroh-nya memberikan bimbingan rohani, doa, dan wirid kepada umat pada saat-saat diperlukan karena kondisi.

Ketiga, perlu ada unsur yang memahami masalah kenegaraan secara utuh dan mendalam. Kalau tidak, hubungan NU dan negara tentu tidak serasi. Akibatnya, NU sulit mewarnai negara, karena hanya akan mendapat akibat dari ekses-ekses politik kenegaraan. Keempat, perlu ada unsur manajemen, sains dan teknologi.

Jika unsur-unsur tersebut bisa dikombinasikan akan menghasilkan lembaga Syuriyah yang berfungsi sebagai lembaga tertingi NU yang efektif.

Apa selama ini belum seperti itu?

Iya dalam wacana, tapi dalam praktik belum optimal. Karena beberapa faktor, seperti jarangnya pertemuan, serta faktor teknis lainnya. Sehingga perlu ada penajaman kembali.

Kemudian, Tanfidziyah harus menjabarkan nilai-nilau luhur NU, serta melaksanakan keputusan-keputusan Syuriyah dalam strategi langkah dan tata laksana teknis. Misalnya, dalam bidang pendidikan, dakwah, ekonomi, dan politik. Politik di sini tidak dalam arti politik praktis (parpol), tapi moral politik keagamaan, kebangsaan dan keumatan.

Dengan demikian, kombinasi antara keduanya dalam program dan tata kerja, akan mampu meningkatkan pelayanan masyarakat secara komprehensif, seperti pelayanan pendidikan, hukum, ekonomi dan lain-lainnya.

Bagaimana dengan Khittah NU 1926?

Khittah sebagai patokan tidak perlu diubah, namun khusus masalah kebebasan memilih, perlu ukuran-ukuran dalam tata laksananya.

Sebenarnya Khittah terdiri dari tiga bagian penting. Pertama, bagian yang mengatur jatidiri NU. Bahwa NU menganut ajaran Islam Ahslusunnah wal Jamaah. Fikihnya menganut salah satu dari Imam Empat. Dalam bidang tasawuf mengikuti Junaid Al Baghdadi dan Imam Ghazali. Dalam bidang Akidah mengikuti Al Asy’ari dan Al Maturidi. Dalam visi NU dan manhaj perjuangan menggunakan garis moderasi atau wasathiyah, tidak ekstrim (tathorruf), baik ekstrim keras maupun ekstrim lunak. Ekstrim keras menggunakan teror dan formalisasi agama. Di lain pihak, ekstrim lunak melakukan liberalisasi pemikiran agama yang semata-mata yuhakkimuna bi’uqulihim. Padahal, ekstrimisasi agama dan liberalisasi pemikiran sama-sama melanggar khittah, bahkan bisa keluar dari prinsip-prinsip ajaran NU.

Bagian kedua tentang kemandirian. NU adalah organisasi mandiri, tidak merupakan bagian apa pun, baik ormas maupun partai. Dalam bidang sosial kenegaraan, NU menjadi organisasi amar ma’ruf nahi mungkar, tidak merupakan bagian dari birokrasi pemerintahan, tidak pula merupakan oposisi terhadap kekuasaan. NU memperkuat yang benar bukan hanya membenarkan yang kuat.

Bagian ketiga, kebebasan menentukan pilihan. Dulu, ketika Khittah dilahirkan tahun 1984, kita hanya memilih satu dari tiga partai, dan tidak memilih orang. Dalam proses selanjutnya, tahun 1998, PBNU menfasilitasi lahirnya PKB, dan sekarang ini ada 38 partai. Selain itu, kita tidak hanya memilih partai, tapi juga memilih orang. Perkembangan ini perlu diperhatikan oleh Muktamar, sehingga kebebasan memilih seimbang dengan tanggung jawab pilihan itu. Antara kebebasan memilih dan tanggung jawab dalam memilih diperlukan ukuran-ukuran demi kemaslahatan NU. Kalau tidak, kita akan memilih secara sembarangan, termasuk memilih pihak yang kalau besar dan kuat akan menggusur NU. Tanggung jawab dalam memilih, termasuk tanggung jawab kita kepada agama, umat dan Allah.

Saat ini, khittah sedang disalahpahami oleh warga NU sendiri, seakan-seakan khittah yang benar adalah tidak berbuat apa-apa, sehingga membuka peluang orang lain untuk mengatur NU atas nama Khittah. Sementara, kalau pimpinan NU mengatur umatnya sendiri dianggap tidak Khittah.

Tentang partai yang berbasis NU, bagaimana?

Idealnya, mayoritas orang NU punya pilihan politik sekalipun tetap membuka kemungkinan kader-kader NU bebas ada di mana-mana. Jadi, ada ‘perahu’ besar dan ada ‘sekoci’. Pikiran ini berkembang di NU tahun 1998. Tetapi perkembangan selanjutnya, terjadi kerenggangan antara umat NU dan partai-partai yang berbasis NU disebabkan karena lemahnya faktor amanah, sistem berpolitik, sistem pengkaderan dan rekrutmen. Kerengangan ini kemudian dimasuki segala partai ke dalam umat nahdliyin. Mereka membawa tawaran pragmatisme sehingga terjadi penyusutan terus menerus dalam volume dan kualitas partai yang berbasis NU.

Dalam hal seperti ini, bagaimana Muktamar menyikapinya, serta mengatur rekomendasi-rekomendasinya. Ataukah sama sekali Muktamar tidak menganggap perlu, sehingga dibiarkan seperti ini, yang insya Allah partai berbasis NU akan semakin kecil.

Lalu, bagaimana sesungguhnya NU menghadapi terorisme?

Teror baru terjadi 10 tahun terakhir. Sebenarnya, sebab utamanya adalah konflik global, yakni terjadinya pertikaian Barat dengan Timteng yang dipicu masalah Israel. Ketika hal tersebut terjadi, Indonesia mengalami euforia reformasi sehingga terjadi demokratisasi dosis tinggi yang merenggangkan batas Indonesia. Sehingga para ekstrimis masuk ke Indonesia dan mereka melawan AS dari Indonesia, dan merusak keamanan Indonesia. Sehingga teror bukan watak domestik Indonesia. Kalaupun ada orang Indonesia terlibat teror, hal tersebut karena dilibatkan dalam jaringan teror internasional.

Dalam hal menangatasi teror tersebut, di skala nasional dengan cara membendung pemikiran ekstrim Islam, mengembangkan garis moderasi NU, bekerja sama dengan ormas Islam moderat, menggandeng kekuatan lintas agama, agar tidak tersulut teror kemudian dikerjasamakan dengan pihak pemerintah dalam unsur intelijen, security (Polri), kewilayahan (Dedagri). Pada penanganan kasus teror masa lalu, terbukti kerja sama ini efektif. Kemudian dalam teror belakangan, koordinasinya kurang mantab.

Dalam skala internasional, NU menggunakan ICIS (International Conference of Islamic Scholars) yang ternyata selama 7 tahun terakhir telah diterima baik oleh dunia internasional, Timur Tengah maupun negara-negara Barat. Bahkan, perkembangan selanjutnya cukup menggembirakan karena ternyata NU diminta hampir seluruh dunia untuk ikut meredakan ketengangan, konflik dan teror. Misalnya, ketegangan di Thailand (konflik muslim, Thailand Selatan dengan pemerintah Thailand), Philipina Selatan (konflik Mindanau), Aljazair (ketegangan Aljazair dan Syahrawi Selatan), Syria (ketika Presiden Syria dituduh pihak Barat terlibat pembunuhan Perdana Menteri Libanon, Hariri), Iran (ketika dihukum oleh PBB karena proyek nuklir, Sudan (ketika Presiden Sudan akan diadili lembaga kriminal internasional), juga Korea Selatan (ketika relawannya disandera oleh gerilyawan di Afganistan), peredaan konflik Sunni-Syiah di Irak (dengan diselenggarakannya Konferensi Internasional di Bogor tahun 2007), konflik Hamas dan Fatah yang kita mencoba meredakannya bersama Menlu Hasan Wirayuda dan (Almarhum) Ali Alatas di kamp pengungsian Panglima Hamas Khaled Meshal di Damaskus, peredaan konflik Australia dengan Indonesia sebagai akibat kasus Bom Bali. Juga pada ledakan WTC di Amerika Serikat, NU organisasi Islam pertama yang meninjau Ground Zero di New York, dan sebagainya.

Selain melalui ICIS, posisi saya sebagai presiden WCRP (World Conference on Religions for Peace) cukup efektif untuk kerja sama dengan PBB dan agama-agama pada tingkat dunia. PCI (Pengurus Cabang Istimewa) NU di seluruh dunia, juga dapat digunakan untuk memfasalitasi pertemuan-pertemuan antara NU dengan pihak dunia.

Anda menyatakan tidak maju lagi sebagai Ketua Umum PBNU, mengapa?
Sebenarnya pikiran saya untuk tidak maju lagi sebagai ketua umum PBNU telah ada sejak 1 tahun yang lalu. Alasannya, karena saya sudah memimpin NU 10 tahun. Dan, teman-teman lain di belakang saya sudah saatnya menjadi ketua umum.

Kalau sejak setahun lalu, berarti tidak ada kaitannya dengan desakan sejumlah orang yang meminta Anda mundur?
Saya tidak terbiasa mengambil keputusan karena ditekan. Kalau saya mempunyai kebiasaan menyerah karena ditekan, tentu saya tidak akan menjadi Ketua Umum PBNU dua periode dan membawa NU ke dunia yang penuh risiko dan tantangan pada tingkat nasional dan internasional.

Apalagi, saya tahu tekanan-tekanan untuk memundurkan saya adalah bagian dari afonturasi dan kemauan orang luar. Masalahnya adalah tidak baik buat saya untuk menjadi sumbatan perkembangan dari teman-teman saya sendiri, sekaligus membangun kebiasaan demokrasi republik bukan kerajaan.

Kalau ada orang NU bergerak, misal, atas pesanan orang luar, apakah sama dengan melanggar Khittah?
Iya, karena hal tersebut sama dengan menghilangkan prinsip kemandirian sebagai prinsip kedua dari khittah 1984. Kalau masalah coblosan (pemilu) sebenarnya adalah bebas, tapi sering orang mempersoalkan perbedaan yang sah itu. Malah anehnya, kalau saya mendukung calon, kemudian jadi, seperti di Jakarta (Fauzi Bowo), saya dianggap tidak melanggar Khittah. Tapi, di Jawa Timur karena Khofifah tidak jadi, dianggap melanggar Khittah.

Apa harapan Anda terhadap ketua umum PBNU mendatang?
Saya ingin NU berjalan di atas sistem, tidak selera perorangan atau kelompok orang. Maka Muktamar ke-32, harus mampu meletakkan rel untuk NU. Sehingga siapa pun yang memimpin, bukan mengubah haluan, tetapi melanjutkan tahap demi tahap perkembangan NU. Itu baru mungkin terjadi, jika prinsip-prinsip dalam NU diwadahi dalam sistem yang sehat, dijalankan oleh pemimpin yang benar-benar NU, baik secara ideologis, organisatoris, maupun pengabdian masyarakat.

PBNU yang akan datang harus mampu membedakan dalam realita tindakan organisatoris, antara NU dan liberal, serta NU dan ekstrimis, sehingga dapat dibedakan antara pengembagan pemikiran (tanmiyah) dengan pembelokan pemikiran (inkhirof), di samping PBNU harus mampu menjaga kemandirian NU, serta menjaganya dari oportunasi adan avonturisme dari mana pun.

Belakangan ini muncul suara: PBNU tidak berprestasi. Apa komentar Anda?
Saya sering dikritik karena dianggap tidak merawat anak muda. Itu tidak masalah, tetapi pesantren saya itu pesantren mahasiswa yang isinya anak-anak muda. Bagi saya bukan soal tua atau muda, tapi pola pikirnya. Kalau benar, tua atau muda, saya oke. Kalau salah, tua atau muda, saya tidak oke.

Sekarang saya diributi karena saya dianggap tidak berhasil, ya, biarkan saja. Setiap Muktamar itu biasa terjadi. Biasanya yang meributi saya itu tidak jelas prestasinya. Tapi, merasa hebat, seakan-akan orang yang meributi di atas orang yang diributi. Padahal, keahliannya, ya, meributi itu. Sekarang, untuk menunjukkan prestasinya mereka menggunakan sistem “manohara”, yaitu manover dan huru hara. Dengan manohara itu mereka seakan-akan sangat berprestasi, padahal tidak. Pada Muktamar nanti, prestasi PBNU akan dilaporkan semua. Dari situ bisa dinilai, PBNU berprestasi atau tidak.

Dibandingkan lima tahun yang lalu, pendidikan kita sudah lumayan meningkat, sekalipun diukur sebagai kebutuhan masih kurang. Kita sudah punya sekolah unggulan, misalnya, Khodijah di Surabaya. Dalam bidang kesehatan, rumah sakit NU sebenarnya belum cukup, tapi dibanding 5 tahun lalu, peningkatannya sudah 350 persen. Dulu banyak cabang NU yang tidak punya rumah sakit, sekarang banyak sekali.

Kalau tidak menjadi Ketua Umum PBNU, apa Anda akan tetap berjuang untuk NU?
Mengabdi untuk NU tidak selalu harus menjadi pengurus. Saya membuat pesantren itu sama dengan mengabdi untuk NU. Kalau pesantren Al Hikam bisa mengembangkan pemikiran NU ke dunia luar, itu juga sama dengan mengabdi pada NU. Saya ingin Al Hikam, Depok, itu bisa mengembangkan pemikiran NU ke seluruh dunia.

Secara subtansial, mungkin itu sulit dilakukan ketika saya ada di dalam struktur NU. Karena struktur ini terikat dengan berbagai jaringan. Terus terang saja, selama menjadi ketua umum, obsesi saya belum bisa keluar semua, karena khawatir tidak cocok dengan NU. Misal, saya punya sepuluh obsesi, yang keluar mungkin enam dan yang empat disimpan sebagai memori. Saya sebagai ketua umum, seperti supir truk gandeng yang tidak boleh ngebut. Kadang kepala sudah masuk tapi ekornya belum. Karena itu, saya harus hati-hati. Kalau saya tidak jadi ketua umum, saya bisa turun langsung kemudian naik motor tril dan langsung ngepot. Semua obsesi saya yang sepuluh pun secara optimal akan keluar sepuluh.

Misal, saya yang ketua umum PBNU mau menulis tentang hubungan partai dengan negara yang tidak ada standarisasi atau segala macam tulisan, saya bisa dicibir orang. Ketua umum kok seperti itu. Ketika saya tidak menjadi ketua umum, malah bisa.

Saya menjadi pengurus NU sudah 45 tahun, nonstop dan terus menerus. Tahun 1964, saya menjadi ketua GP Ansor Bululawang, Malang, kemudian naik menjadi ketua NU Ranting Bululawang, itu terus di MWC, pengurus cabang, pengurus wilayah hingga ke PBNU. Jadi, saya tidak mungkin tidak berbuat untuk NU hanya karena tidak menjadi pengurus. Efektif atau tidak orang di NU, tidak diukur ada atau tidak di struktur, tapi diukur oleh apa yang ada di kepala orang untuk disampaikan demi kebaikan NU dan umat.

Kira-kira figur yang tepat untuk menggantikan Anda?
Kalau figur, sebaiknya saya tidak bicara. Kalau saya bicara figure, dikira ikut sana atau sini. Kalau kriteria, ya, mereka yang bisa mempertahankan jatidiri NU lalu mengembangkannya sesuai dengan perkembangan tanpa keluar dari akar pemikiran NU.

Dalam AD/ART NU, ada aturan siapa yang berhak mencalonkan diri sebagai calon ketua umum. Kalau ada figur yang tahu-tahu datang untuk menjadi ketua umum, memenuhi syarat atau tidak sebagai calon yang diatur AD/ART. Ini dari segi formal saja, belum dari segi visi dan orientasi agama, serta subtansi perjuangan.

Soal majunya Ulil Abshar, yang selama ini dikenal liberal?
Ya, dicocokkan saja dengan AD/ART. Dia sudah memenuhi syarat untuk maju sebagai ketua umum atau tidak. Siapa yang disebut NU atau tidak itu sudah ada di AD/ART.

Tantangan NU ke depan?
Tantangan yang dihadapi NU ke depan bersifat konprehensif. pertama, tantangan ideologis, kanan dan kiri. Kanan ini ada dua, ada yang bersifat agamis, ada yang agamis politis. Tantangan agamis yaitu banyaknya kelompok-kelompok Islam yang baru. Kalau tantangan yang agamis politis, seperti PKS.

Lalu, kedua, tantangan politis. Masihkah NU mau bermakna politis, meskipun bukan partai politik. Apakah sayap politik yang ada dibenahi atau dibiarkan saja.

Tantangan ketiga, mampukan NU menjaga kemandirian dari kooptasi luar NU. Sebagai organisasi terbesar, tidak mungkin orang lain tidak berkepentingan dengan NU, baik secara nasional maupun internasional. Kepetingan orang lain terhadap NU itu ada tiga macam. Ada yang senang sehingga mendukung, karena faktor moderasinya. Ada yang acuh saja karena memang dipandang tidak bahaya. Ada yang tidak suka karena faktor Islamofobia atau faktor ditakutinya kristalisasi politik yang akan timbul di NU. Yang membentur kepada NU selama ini tiga macam itu.

Apa yang akan dilakukan NU agar bisa menghadang tantangan itu?
Tinggal PW dan PC punya imunitas terhadap intervensi dan kooptasi atau tidak? Saya yakin imunitas itu masih ada. PW dan PC punya tanggung jawab dunia dan akhirat soal selamat atau tidaknya NU. Tanggung jawab itu tidak lagi pada Hasyim Muzadi, pada Muktamar nanti sudah beralih kepada yang punya pilihan, yakni PW dan PC.

Karena itu, saya berharap PW dan PC meneliti betul siapa yang akan dipilih. Sehinga jelas, apakah orang itu jelas mau melanjutkan perjuangan NU, atau menjadi bagian kemauan orang lain yang dimasukkan ke NU. Membedakan ini semua, PW dan PC harus punya kecerdasan, ketelitian dan nurani, karena akan berhadapan dengan “manohara” dan uang.

Di zaman yang pragmatis, “Ketuhanan Yang Maha Esa” bisa kalah dengan “keuangan yang maha kuasa”. Gampangnya, kalau berdasarkan cerita Al-Qur’an, seperti tentara Tholut melawan tentara Jalut di tengah kehausan melewati sebuah sungai. Barang siapa meminum air sungai itu tidak akan kuat melawan Jalut, kecuali hanya membasahi tenggorakan. Ternyata mayoritas mereka minum sebanyak-banyaknya. Akhirnya mayoritas mengatakan, hari ini tidak ada kekuatan kami melawan Jalut dan bala tentaranya. Karenanya, Muktamar ini ada di simpang jalan, apakah NU mampu mempertahankan jati dirinya, atau cukup sekian.

Related Posts

Posting Komentar