Si Mbah Teteskan Air Mata Melihat NU

Posting Komentar
Hujan belum mereda Ahad (22/12). Ada si Mbah duduk di teras depan Lakpesdam NU, di Jl. H. Ramli No. 20A Menteng Dalam Tebet, Jakarta Selatan. Lalu kami persilakan masuk lantaran hujan semakin deras. 

Selazimnya wong NU, ketika tamu datang, tentu disediakan minuman hangat, teh atau kopi. Si Mbah memilih teh tanpa gula. Barangkali kebetulan, selera rokok kami sama, Gurame alias Gudang Garam Merah.

Mula-mula si Mbah hanya menunduk dengan mengenakan topi yang ditambal kain. Kami perhatikan, dia membawa bambu pikulan, pengki dan cangkul yang diletakkan di teras. Kami tanya, "Mbah mau kemana dan ada keperluan apa?" 

Si Mbah Teteskan Air Mata Melihat NU (Sumber Gambar : Nu Online)
Si Mbah Teteskan Air Mata Melihat NU (Sumber Gambar : Nu Online)

Si Mbah Teteskan Air Mata Melihat NU

Dengan bibir agak ragu dan sedikit bergetar "Saya biasa bekerja bersih-bersih rumput, keliling kampung Menteng Dalem sini, barangkali ada rumah yang perlu bantuan saya bersihkan halaman dan rapihkan tanamannya," kata si Mbah masih menunduk seraya raut wajah disembunyikan di balik topinya.

Mulai dari situlah, siang ini, obrolan kami semakin panjang dengannya. Si Mbah kini meletakkan topi di atas meja, dan mau menatap kami. Rupanya si Mbah kelahiran Sindang Laut, Cirebon. Sejak Jakarta dipimpin Ali Sadikin, dia merantau ke Jakarta jadi kuli bangunan karena tidak punya tanah lagi di Cirebon. 

Masa Jepang, dia sudah Sekolah Rakyat, dan masih ingat terminologi Jepang; hitungan, perintah, istilah sapaan, dan lagu kebangsaan Jepang "Kimigayo." Masa itu, dia tidak melihat pembunuhan, tapi bagi yang tidak bisa berbaris dengan baik, akan ditendang-tendang. Tidak becus latihan ketentaraan, disiksa. Dan para tokoh PKI yang melawan pendudukan Jepang, rumahnya hangus dibakar para tentara Jepang. 

Lalu kami tanya, "Bagaimana dengan para kiai disana?" 

At Tijani Indonesia

Sambil mengingat-ingat, dia mengisahkan, "Kiai Buchair, Kiai Anas, Kiai Rais setelah Jepang pergi datang pasukan Belanda dan Inggris. Kiai-kiai disiksa pasukan sekutu. Kiai Buchair dirampas kerisnya, lalu ditembak. Kiai Anas disiksa berhari-hari, begitu juga Kiai Rais dan yang lain, tadinya para kiai tidak bisa disiksa dengan mengamalkan surat al Kahfi, tapi ga tau kok bisa kalah. Semua ditembak," si Mbah cerita, dia menyaksikan kejadian itu. Sebagian rakyat yang melawan ikut disiksa dan ditangkap.

Untuk membantu ingatannya, melalui Youtube kami perdengarkan beberapa pidato Bung Karno, lagu-lagu perjuangan, dan shalawatan yang barangkali bisa membantu menjelaskan konteks, situasi batin masa itu. 

Dia tampak tersenyum seraya memegang dahi. 

Kami putar lagu "Genjer-genjer." "Itu lagu Gerwani," katanya. 

At Tijani Indonesia

Menjelang Pemilu 1955, PKI mengajaknya bergabung. Namun karena dia suka ditipu PKI, maka dia tidak mau ikut PKI. "Saya tidak mau kamu tipu, dan saya tidak bisa ditipu. Kalau mau menipu cari saja orang lain yang bisa kamu tipu," katanya.

"Lantas si Mbah pilih partai apa?" tanya kami. 

"Saya pilih NU," jawabnya. 

Tanpa kami minta, kemudian dia bacakan "hizib latief" lancar sekali. "Dari mana si Mbah bisa hafal hizib itu?" 

"Ini ijazah dari Kiai Fuad Hasyim buat saya," jawabnya. 

"Mbah, coba lihat ke bingkai digantung itu!" kata kami seraya menunjuk bingkai persis berada di belakangnya. 

"Ini kantor NU, Mbah," lanjut kami. 

Si Mbah teteskan airmata, lalu tersenyum.

"Mbah tinggal dimana? Siapa namanya?" tanya kami penasaran.

"Saya tinggal sendiri di depan toko-toko Pasar Menteng Pulo yang baru. Anak isteri saya di Cirebon. Nama saya..? Saya Ebon," sambil bersiap keluar dan merapikan, cangkul, pengki dan pikulan.

"Masih gerimis, Mbah.. mau kemana?" kami menahan. 

"Saya mau ke masjid." (Abi Setyo Nugroho

Dari Nu Online: nu.or.id

At Tijani Indonesia Kiai, Daerah At Tijani Indonesia

Related Posts

Posting Komentar