Dirikan Madrasah Hingga Terapkan Sistem Pembelajaran Salaf

Posting Komentar
Probolinggo, At Tijani Indonesia. Pondok Pesantren Ihayussunnah di Desa Sentong Kecamatan Krejengan Kabupaten Probolinggo berdiri 87 tahun lalu, tepatnya tahun 1927 oleh KH Abdul Karim. Saat ini pesantren ini diasuh oleh cicit sang pendiri KH Moh Nashih. Dari pesantren ini banyak lahir ulama yang eksistensinya sangat dibutuhkan oleh masyarakat.

Dirikan Madrasah Hingga Terapkan Sistem Pembelajaran Salaf (Sumber Gambar : Nu Online)
Dirikan Madrasah Hingga Terapkan Sistem Pembelajaran Salaf (Sumber Gambar : Nu Online)

Dirikan Madrasah Hingga Terapkan Sistem Pembelajaran Salaf

Letak Pondok Pesantren Ihyaussunnah sangat strategis dan mudah dijangkau oleh kendaraan umum. Dari batas Kota Kraksaan Kabupaten Probolinggo hanya butuh waktu 10 menit ke arah selatan untuk menuju ke pesantren ini.

Pengasuh Pondok Pesantren Ihyaussunah KH. Moh Nashih mengisahkan, dulunya pesantren tersebut didirikan oleh KH. Abdul Karim, kakek buyutnya. Dimana Kiai Karim ini merupakan menantu dari KH Rifa’i Tabrani, Pengasuh Pondok Pesantren Rofi’atul Islam di desa yang sama.?

At Tijani Indonesia

“Jadi, kami terikat tali persaudaraan dengan KH Munir Kholili, Pengasuh Pondok Pesantren Rofi’atul Islam. Dimana Kiai Munir saat ini dipercaya sebagai Rais Syuriyah PCNU Kota Kraksaan,” katanya.

At Tijani Indonesia

Menurut Kiai Nashih, sebelum berdiri menjadi pondok pesantren, Kiai Karim mengawali dengan memberikan pengajian kitab dan Al Qur’an. Namun lambat laun pengajian kitab ini merubah menjadi Madrasah Diniyah (Madin).

Berkat dukungan masyarakat, Madin ini akhirnya berubah menjadi sebuah pondok pesantren yang sederhana. Berbeda dengan Pondok Pesantren Rofi’atul Islam yang tidak menerima santri putri, pesantren ini sejak awal telah menerima santri putri dan putra. “Alhamdulillah, semakin lama pesantren ini semakin maju,” jelasnya.?

Kiai Karim mengasuh pesantren ini hingga tahun 1947. Ketika diasuh Kiai Karim, santri mukim hampir mencapai 100 orang. Kemudian kepengasuhan pesantren dilanjutkan menantunya KH. Bahrawi hingga tahun 1950. Pada masa kepemimpinan Kiai Bahrawi, didirikanlah Madrasah Ibtidaiyah (MI) Islamiyah. “Madrasah ini, selain mengajarkan ilmu agama juga mengajarkan ilmu berhitung dan bahasa Indonesia,” terangnya.

Setelah itu, kepemimpinan pesantren ini bergeser kepada KH. Ma’sum Abdul Karim, putra tertua dari KH. Bahrawi. Saat Kiai Ma’sum memimpin banyak kemajuan yang dicapai. Siswa kelas VI pada MI pada masa ini mulai diikutkan ujian negara.

Pada tahun 1963, Kiai Ma’sum melakukan perombakan pada sistem manajemen. Jika sebelumnya madrasah yang ada hanya ala kadarnya, maka pada tahun itu manajemen disusun dengan cermat. “Namun keputusan yang dilakukan setelah sebelumnya dimusyawarahkan kepada keluarga dan tokoh masyarakat,” akunya.

Lima tahun kemudian Kiai Ma’sum mendirikan Madrasah Mu’allimin yang menggunakan masjid sebagai tempat belajar. Madrasah ini merupakan kelanjutan dari madrasah yang ada. Madrasah ini mengajarkan 70 persen ilmu agama, sedang sisanya untuk ilmu umum. “Pengajarnya sebagian besar dari luar pesantren,” imbuhnya.

Berikutnya, 2 tahun kemudian Madrasah Mu’allimin berganti nama menjadi MTs (Madrasah Tsanawiyah) Al Muttahidah. Madrasah ini menampung siswa dari dua pesantren. Yakni, Pondok Pesantren Ihyaussunnah dan Rofi’atul Islam. Tak lama berselang, pada tahun 1971 KH. Ma’sum Abdul Karim wafat.

“Saat Kiai Ma’sum wafat putranya masih kecil. Sehingga lewat musyawarah keluarga kepemipinan pesantren diamanatkan ke KH. Rofi’i Abdul Karim, abah saya,” tuturnya.

Pada masa Kiai Rofi’i, MI dan MTs Al Muttahidah mulai menerapkan kurikulum Departemen Agama (Depag) pada tahun 1974. Dengan begitu santri yang belajar pada 2 madrasah ini mengikuti ujian Negara.

Kemudian pada tahun 1982, Kiai Rofi’i mendirikan MA (Madrasah Aliyah) Al Muttahidah. Pendirian gedung madrasah ini merupakan bantuan dari Raja Kholid dari Saudi Arabia. “Abah selama 11 tahun belajar dan pernah menjadi wartawan disana. Sehingga mempunyai hubungan baik dengan Pemerintah Arab Saudi,” jelasnya.

Pada ? akhir tahun 1996, KH Rofi’i Abdul Karim wafat saat menghadiri undangan pengajian. Kemudian atas musyawarah keluarga yang dipimpin KH. Munir Kholili, pada tahun 1997 diputuskan pimpinan pondok pesantren diserahkan kepada KH. Moh Nashih.

“Sebenarnya masih ada kakak saya yang lebih pantas. Namun beliau bermukim di daerah lain. Hingga akhirnya saya yang diberi amanat oleh keluarga. Saya waktu itu masih mondok di Kencong Jember,” ujar alumni STAI Zainul Hasan ini.

Terapkan Sistem Pembelajaran Salafiyah

Seperti pondok pesantren lain, di Pondok Pesantren Ihyaussunnah diterapkan sistem pendidikan salafiyah. “Santri mulai mengikuti kegiatan sejak pukul 03.00 dengan salat Tahajjud dan salat Subuh. Selanjutnya mengaji kitab kuning hingga pukul 06.00,” ungkap Pengasuh Pondok Pesantren Ihyaussunnah KH. Moh. Nashih.

Aktivitas santri dilanjutkan pada pukul 07.00 hingga 13.30, dimana santri belajar di MTs dan MA. “Setelah itu, 30 menit kemudian santri masuk ke MA hingga pukul 16.30,” tuturnya.

Pondok pesantren ini juga menerapkan metode pendidikan salafiyah yang meliputi Madin, pengajian kitab kuning, halaqah diniyah dan Tahfidatul Qur’an. Kegiatan ini dilaksanakan usai salat Maghrib yang dilanjutkan dengan pengajian Al Qur’an. Lalu belajar membaca kitab klasik hingga pukul 21.00. “Santri yang tidak sekolah pada pagi hari, ada pengajian khusus pendalaman kitab klasik,” ujarnya.

Selain kitab yang sudah umum diajarkan di kalangan pesantren, pondok pesantren ini juga mempunyai kitab khusus. Kitab ini merupakan karangan KH. Rofi’i Abdul Karim, yakni Kamus Bahasa Arab Pusha atau kamus bahasa Arab berdasarkan kitab, Kamus Bahasa Arab Amiyah atau kamus percakapan bahasa Arab sehari-hari. Kemudian ada juga Kamus Luar Biasa Bahasa Arab yang diajarkan di Madin. Selain itu ada Silahul Mukmin. Yaitu, kitab yang berisi doa-doa.

Pondok pesantren ini mengutamakan pendidikan akhlak dalam mendidik para santri. Hal itu tergambar dalam usaha yang selalu menekankan pada keutamaan dalam berakhlakul karimah. “Percuma punya santri pintar, tetapi akhlaknya jelek. Apalagi tidak menghormati orang tua. Itu yang tidak kami harapkan,” tegasnya.

Terbagi dalam Tiga Asrama

Kini Pondok Pesantren Ihyaussunnah yang memasuki usia 87 tahun ini mempunyai sekitar 300 santri mukim. Sedangkan yang non mukim sekitar 100 orang yang terdiri dari pelajar di MTs dan MA Al Muttahidah.

Namun, santri sebanyak itu tidak berada di satu pondok atau asrama. Mereka tersebar pada tiga asrama. Yakni asrama pusat Ihyaussunnah, Darul Hayat dan Arrofi’iyah. Masing-masing asrama dipimpin pengasuh berbeda. Asrama Ihyaussunnah diasuh oleh KH. Moh Nashih. Sedangkan Arrofi’iyah berada di Kelurahan Semampir Kecamatan Kraksaan dipimpin oleh KH Moh Hafid dan asrama Darul Hayat dipimpin oleh H. Kamil Abrori, menantu tertua KH Rofi’i Abdul Karim.

Meski berada tiga asrama, semua kegiatan masih terpusat. Yang membedakan hanyalah pada pengajaran agama yang berada di bawah pengasuh masing-masing. Sekolah umum dan kegiatan imtihan tetap disatukan di pondok pusat. “Untuk kegiatan besar masih tetap tersentral,” katanya. (Syamsul Akbar)

Foto: Santri Pondok Pesantren Ihyaussunnah Desa Sentong Kecamatan Krejengan Kabupaten Probolinggo ketika melakukan bakti sosial kerja bakti membersihkan kuburan yang berada di sekitar pesantren.

Dari Nu Online: nu.or.id

At Tijani Indonesia Ubudiyah At Tijani Indonesia

Related Posts

Posting Komentar