Tercatat dalam arsip kolonial bahwa antara tahun 1800-1900 M telah terjadi usaha pemberontakan terhadap pemerintahan kolonial Belanda yang dilakukan rakyat di bawah pimpinan tokoh-tokoh tarekat sebanyak 112 kali. (Muhammad Fauzinuddin Faiz: 2015, hal. 85). Hal ini jelas menunjukkan bahwa tidak sedikit peran para kiai dengan semangat nasionalismenya turut berjuang melawan para penjajah.
Semangat Juang Mbah Kiai Syafa’at untuk NKRI (Sumber Gambar : Nu Online) |
Semangat Juang Mbah Kiai Syafa’at untuk NKRI
Yang krusial adalah, terjadinya distorsi yang kemudian mengesampingkan para kiai—terutama dari kalangan pesantren— dari panggung sejarah negeri ini. Sehingga generasi muda kali ini, pada jatahnya tidak banyak yang mengenal sosok-sosok dari kalangan pesantren yang sejatinya mempunyai sumbangsih besar atas tegaknya NKRI.Sebagai seorang pewaris muda tanah air, Muhammad Fauzinudin Faiz merasa terpanggil secara ilmiah untuk turut mengusung tokoh pesantren yang berandil besar dalam membela Nusantara dari serangan penjajah, dengan mengangkat sosok KH Muchtar Syafa’at.
At Tijani Indonesia
Karyanya yang berjudul “Mbah Kiai Syafa’at: Bapak Patriot dan Imam Ghazalinya Tanah Jawa” menggambarkan perjuangan sosok mbah kiai Syafa’at sebagai representasi “santri” di Banyuwangi yang turut andil melawan penjajah pra kemerdekaan dan representasi kiai daerah Banyuwangi yang berjuang pasca kemerdekaan.At Tijani Indonesia
Dinyatakan oleh KH Hasyim Muzadi dalam pengantarnya bahwa, Mbah Syafa’at adalah seorang kiai besar dari Banyuwangi. Kiai Muchtar Syafa’at dikenal sebagai kiai pengamal tarekat. Namun demikian, kiprah yang beliau lakukan tidak hanya dalam bidang tasawuf semata. Beliau telah berjuang semenjak zaman penjajahan Belanda. Beliau memanggul senjata sebagaimana para pejuang yang lainnya.Nyata dalam perjuangannya, Kiai Syafa’at ketika muda menjadi lokomotif para santri di daerah Banyuwangi untuk menggerakkan semangat juang dalam mengusir Belanda dari bumi Blambangan.
Kiai Syafa’at ketika muda oleh beberapa kiai sepuh memang ditunjuk menjadi pemimpin para santri saat itu. Hal demikian karena Kiai Syafa’at memiliki pengalaman dalam membantu gurunya, Hadratus Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari saat menolak aturan-aturan dan kebijakan kolonial yang cenderung merugikan kaum pribumi Jombang. Selama kurang lebih enam tahun di Tebuireng, Syafa’at muda bersama-sama santri lain aktif dalam mengusir penjajah hingga akhirnya pengembaraan mencari ilmu diteruskan di Jalen, Banyuwangi. (hal. 82)
Selain itu dalam buku ini, juga menghadirkan Mbah Kiai Syafa’at sebagai pengamal tasawuf yang erat kaitannya dengan sosok Imam Ghazali. Pasalnya, beliau sangat mengikuti dan berpegang teguh dalam mengamalkan ajaran tasawuf, utamanya yang diajarkan hujjatul Islam Imam Al-Ghazali yang tertera dalam kitab Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn dan Fâtihatul ‘Ulûm.
Tidak cukup hanya disitu, kitab Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn karya Imam Ghazali merupakan kajian wajib dalam pesantrennya Kiai Syafa’at di Blokagung, Banyuwangi. Hingga hari ini kitab tersebut masih menjadi kitab yang wajib dimiliki oleh setiap santri yang belajar di sana.
Dalam buku ini, Faiz juga menghadirkan sosok Kiai Syafa’at sebagai ulama yang spiritualis, sosialis dan khoriqul ‘adah. Dimana selain mengasuh pesantren, beliau juga memiliki kepedulian terhadap bidang sosial keagamaan, tarekat, dakwah, ilmiah intelektual hingga persoalan masyarakat sehari-hari. Luasnya cakupan perhatian beliau tersebut menjadikan Kiai Mukhtar Syafa’at sebagai kiai yang cukup disegani.
Namun, nampaknya dalam hal pemberian judul, buku ini kurang pas jika menggunakan redaksi Imam Ghazalinya “Tanah Jawa”. Pasalnya, Kiai Syafa’at adalah ulama yang berafiliasi atau lebih concern di daerah Banyuwangi sementara ke barat sedikit kita mengetahui adanya sosok Syekh Ihsan Jampes di Kediri yang juga pengamal tasawuf bahkan mempunyai karya sebuah kitab berjudul “Sirojut Tholibin” yang merupakan kitab syarah (penjelas) dari kitab “Minhajul ‘Abidin” karya Imam Ghazali. Sementara di daerah Magelang Jawa Tengah juga terdapat Kiai Dalhar Watucongol yang juga ulama tasawuf, yang sudaah barang tentu tak lepas dari sosok Imam Ghazali, dan lain sebagainya.
Kendati demikian, sosok Kiai Syafa’at yang dihadirkan melalui buku ini tentulah diperlukan. Mengingat kondisi masyarakat dewasa ini dinilai lumayan merosot terutama dari segi akhlak. Krisis keteladanan dari pemuka agama ditunjuk sebagai salah satu penyebab utama kondisi tersebut.
Melalui buku ini kiranya penulisan biografi tokoh teladan seperti Kiai Mukhtar Syafa’at pendiri Pesantren Darussalam Blokagung, Banyuwangi sungguh penting dan diperlukan sehingga kesadaran nasionalisme yang berimbang dengan keteguhan spiritualitas perlulah ditumbuhkan bagi bangsa ini untuk mengangkat dan menjaga martabat NKRI sebagaimana yang telah dicerminkan oleh Mbah Kiai Mukhtar Syafa’at.
Data buku
Judul Buku : Mbah Kiai Syafat: Bapak Patriot dan Imam Ghazalinya Tanah Jawa
Penulis : Muhammad Fauzinuddin Faiz
Penerbit : CV. Pustaka Ilmu Group, Yogyakarta
Cetakan : Maret, 2015
Tebal : xlii+ 170 halaman
Peresensi : Anwar Kurniawan, mahasiswa Ushuluddin STAI Sunan Pandanaran, Yogyakarta
Dari Nu Online: nu.or.id
At Tijani Indonesia Doa At Tijani Indonesia
Posting Komentar
Posting Komentar