Islamophobia dalam Perspektif Komunikasi

Posting Komentar
Oleh Hagie Wana



Akhir-akhir ini kita sering menjumpai kampanye melawan Islamophobia di media sosial. Gerakan ini giat disuarakan oleh kelompok yang merasa menjadi “sasaran” dari Islamophobia tersebut. Kini muncul kampanye berupa meme, foto, atau bentuk posting-an lainnya yang sedang digandrungi masyarakat cyber yang mengajak masyarakat Muslim, khususnya generasi muda untuk tidak ragu mengenakan jilbab syar’i, memanjangkan janggut, memakai celana cingkrang atau sebagainya dan menegaskan bahwa hal-hal tersebut bukanlah pakaian teroris.

Islamophobia dalam Perspektif Komunikasi (Sumber Gambar : Nu Online)
Islamophobia dalam Perspektif Komunikasi (Sumber Gambar : Nu Online)

Islamophobia dalam Perspektif Komunikasi

Fenomena yang menjangkiti sebagian besar masyarakat, bahkan termasuk umat Islam sendiri adalah memberikan stigma negatif terhadap mereka yang kental berpenampilan syar’i (seperti cadar, gamis, atau janggut panjang). Misalnya saja seorang muslimah yang berhijab syar’i—apalagi bercadar—sulit untuk diterima bekerja di dunia perkantoran. Di bank yang berlabel “syariah” pun rasanya tidak pernah kita jumpai teller/karyawan yang berhijab syar’i. Atau ada seorang pria yang mengenakan peci dan berjanggut lebat kadang mendapat “perhatian lebih” dari orang-orang di sekelilingnya apabila sedang berjalan-jalan di pusat perbelanjaan. Kemudian ada orang yang sungkan dan ragu untuk membeli makanan hanya karena penjualnya memakai gamis dan sorban. Di beberapa negara maju, konon mereka yang memiliki nama dengan unsur bahasa Arab yang kental, agak sulit untuk mengurusi dokumen administrasi di wilayahnya. Seperti yang dialami rekan penulis, ia menceritakan pernah sampai diintrogasi oleh otoritas sebuah bandara karena memiliki nama yang kearab-araban. Atau berbagai contoh lain yang menggambarkan Islamophobia.

At Tijani Indonesia

Fenomena ini sudah umum terjadi, atau bahkan mungkin kita sendiri terlibat didalamnya, entah sebagai orang yang menaruh curiga terhadap mereka yang berpenampilan syar’i, ataupun sebagai pihak yang menjadi sasaran dari kecurigaan tersebut. Kemudian banyak pula kita dapati postingan berbagai teori-teori yang mencoba menjelaskan fenomena ini. Ada yang mengatakan bahwa Islamophobia adalah bagian dari konspirasi zionis. Ada juga yang mengatakan bahwa Islamophobia adalah isu yang diembuskan oleh Barat untuk menghancurkan generasi Muslim, dan lain sebagainya.

Lalu betulkah Islamophobia adalah bagian dari konspirasi? Betulkah ketakutan terhadap simbol-simbol Islam yang kerap diidentikan dengan terosisme adalah isu yang diembuskan oleh Barat? Dan teori lainnya yang menunjukkan bahwa ketakuan terhadap simbol-simbol Islam dimunculkan orang-orang non Islam.

At Tijani Indonesia

Berbicara kemungkinan, teori-teori di atas mungkin saja betul. Dan memang dapat diterima secara logis. Namun tidakkah kita sadari bahwa terkadang ketakutan terhadap simbol agama Islam terkadang dibuat oleh orang Islam itu sendiri? Ada pihak yang tidak terima ketika simbol-simbol Islam seperti cadar dan lain-lain disebut sebagai kostum teroris, namun di sisi lain “ketidakterimaan” mereka tidak dibarengi dengan langkah yang konkret. Hal ini bisa kita amati dari sikap mereka yang terkadang apatis atau bahkan cenderung mendukung aksi-aksi teror di saat masyarakat luas mengutuk aksi terorisme, atau sikap lainnya yang “melawan arah” lalu balik menuduh bahwa yang tidak sejalan dengan mereka adalah anti-Islam, perilaku kafir dan lain sebagainya.

Dalam perspektif ilmu komunikasi, apa yang kita tampilkan adalah pernyataan kita. Kemudian penampilan kita akan dipersepsi berbeda-beda oleh orang lain. Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi (Rakhmat:2015) dan persepsi seseorang boleh jadi sesuai, boleh juga tidak sesuai dengan kepribadian aslinya.

Mereka (orang non-Muslim atau mungkin umat Islam sendiri) yang phobia dengan simbol-simbol Islam tidak sepenuhnya salah karena itu persepsi mereka berdasarkan pengalaman yang mereka alami sendiri. Oleh sebab itu upaya nyata melawan Islamophobia adalah dengan cara menampilkan perilaku pribadi muslim yang humanis, fleksibel, atau istilah santri mengatakan shahih likulli zaman wa makan (relevan dengan segala kondisi) kemudian membuktikan bahwa pakaian syar’i bukanlah pakaian teroris dapat direfleksikan dengan upaya menolak segala bentuk kekerasan/aksi teror yang mengatasnamakan agama. Jika sudah berada di barisan depan dalam menolak aksi teror, akankah publik masih mencap bahwa yang berpenampilan syar’i adalah teroris?

Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Dakwah Dan Komunikasi UIN SGD Bandung



Dari Nu Online: nu.or.id

At Tijani Indonesia Berita At Tijani Indonesia

Related Posts

Posting Komentar